JAKARTA - Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia adalah momen yang ditunggu-tunggu. Semua bersuka cita Indonesia lepas dari belenggu penjajahan. Tapi tidak bagi penjajah Belanda. Negeri Kincir Angin itu masih merasa Indonesia sebagai wilayahnya. Opsi teror mulai dilancarkan Belanda. Agresi Militer Belanda I jadi ajiannya.
Namun Belanda kelewat batas. Pembantaian Rawagede di antara Karawang-Bekasi contohnya. Sebuah tragedi kemanusiaan yang memakan korban ratusan jiwa. Dunia pun mengecam Belanda. Di mata Belanda, proklamasi kemerdekaan Indonesia tak memiliki nilai. Indonesia yang dulunya Hindia-Belanda masih dianggap sebagai negeri koloni.
Sebuah daerah jajahan yang diperas macam 'sapi perah'. Dikatakan begitu karena Belanda menganggap wilayahnya hanya direbut Jepang, bukan oleh kaum bumiputra. Karenanya, Belanda merasa memiliki hak untuk menguasai Indonesia. Sekali lagi. Belanda berniat menggulingkan Indonesia dan mengembalikannya ke status negara jajahan. Provokasi-provokasi dilakukan oleh Belanda sebelum adanya perundingan.
Geretakan Belanda tak membuat nyali pejuang kemerdekaan ciut. Dukungan seluruh rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan menggema di mana-mana. Seluruh rakyat ikut berjuang dalam satu komando. Sebesar-besarnya untuk sekali merdeka, tetap merdeka. Selain itu Belanda bersiasat untuk melakukan perundingan.
Tapi hasil perundingan tak begitu memuaskan kedua pihak: Belanda ataupun Indonesia. Belanda berang. Mereka memilih melancarkan serangan besar-besaran yang dirancang untuk menghancurkan Republik Indonesia. Serangan itu langgeng dikenang sebagai Agresi Militer Belanda I pada 1947.
“Secara umum, Belanda merasionalkan keputusan mereka untuk menggunakan kekuatan militer dengan alasan bahwa pemerintah Republik tidak cukup mengawasi unsur-unsur ekstremis yang tersebar dalam wilayah Republik sehingga menghalangi implementasi Pejanjian Lingarjati yang sudah dibuat. Meskipun Republik memang belum mampu mengawasi secara menyeluruh semua daerah organisasi-organisasi bersenjata tidak tetap, pengawasan terus ditingkatkan.”
“Ketika Belanda melancarkan agresinya, lingkup maupun efektivitas pengawasan Republik atas wilayahnya sendiri jauh lebih besar daripada sebelumnya. Disiplin dan integrasi dari organisasi-organisasi bersenjata juga lebih besar daripada sebelumnya. Sungguh ironis bahwa demi menahan agresi Belanda secara efektif, maka organisasi militer Republik disebar dan komando satuan bersenjata perlu diberi kekuasaan otonom kembali,” ungkap George McTurnan Kahin dalam buku Nasionalisme & Revolusi Indonesia (2013).
Belanda melangsungkan agresi dengan kekuatan penuh. Persenjataan yang digunakan terhitung lengkap. Belanda juga membekali pasukannya dengan tank-tank dan pasukan udara yang cukup kuat. Bukan tidak mungkin dalam dua minggu saja, Belanda telah menguasai hampir semua kota-kota besar yang menghasilkan bahan pangan – di Jawa Barat dan Jawa Timur. Setelahnya, Sebagaian besar pangkalan militer milik Indonesia jatuh ke tangan Belanda Belanda.
Artinya, dalam waktu singkat Belanda mampu mencapai tujuan mengusai Indonesia secara geografis. Belanda dengan armada perangnya yakin benar jika penaklukkan kota-kota lainnya hanya persoalan waktu belaka. Tapi satu yang nyaris tak bisa diraih Belanda waktu itu. Belanda gagal menghancurkan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
“Ibu kota RI memang terkepung dan hubungan ke luar sulit karena pelabuhan-pelabuhan di kuasai Belanda. Ekonomi RI mengalami kesulitan pula karena daerah RI yang merupakan penghasil beras jatuh ke tangan Belanda. tetapi dalam usahanya menghancurkan TNI, Belanda menemui kegagalan.”
“TNI dalam dalam Perang kemerdekaan I mempraktekkan sistem pertahanan linear (mempertahankan garis pertahanan) yang ternyata tidak efektif, sehingga TNI terusir dari kota-kota. Akan tetapi TNI tidak mengalami kehancuran, lalu bertahan di desa-desa,” ujar G. Moedjanto dalam buku Indonesia Abad Ke-20 Jilid 2 (1989).
Pembantaian Rawagede
Gema pasukan TNI masuk ke desa-desa akhirnya sampai ke telinga Belanda. Di masa gencatan senjata sehabis Agresi Militer I, Belanda mulai curiga dengan pasukan Republik telah menjadikan banyak desa sebagai basis gerilya. Desa Rawagede (Jawa Barat), salah satunya.
Desa ini dianggap Belanda terkenal –dari kepala desa hingga warganya— mendukung perjuangan mengusir Belanda. Seisi Rawagede yang berada diperbatasan Karawang-Bekasi pun disebutkan Belanda laksana agen pro-Republik.
Belanda sering melancarkan operasi penyerangan untuk menumpas pejuang kemerdekaan, yang oleh mereka disebut ekstremis di Rawagede. Target utamanya adalah Kapten Lukas Kustarjo. Ia yang dijuluki Belanda sebagai 'Begundal Karawang' kepalanya dihargai sampai menyentuh angka 10 ribu gulden. Hidup atau mati. Berkat bantuan rakyat, Luka Kustarjo selalu aman. Hasilnya Belanda selalu gagal menumpas pejuang kemerdekaan.
“Dalam catatan Belanda, pasukan Lukas Kustarjo seorang bekas Bundanco (bintara) PETA, mengadakan perlawanan sengit terhadap tentara Belanda. Perlu diketahui bahwa calon bintara PETA oleh Jepang diambil dari golongan penduduk biasa, berbeda dari golongan penduduk yang diambil sebagai calon perwira PETA yang berasal dari golongan bekas pamongpraja pemerintah kolonialis Belanda.”
“Hal itu dikarenakan mempengaruhi perbedaan karakter antara bintara dan perwira PETA di Divisi Siliwangi. Golongan Bintara PETA sesuai dengan asalnya lebih bersemangat melawan Belanda daripada putra-putra feodal Jawa yang dijadikan perwira oleh Jepang,” tulis Hario Kecik dalam buku Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2009).
Kegagalan bukan melulu saat penyerangan belaka. Tiap mematai aktivitas pejuang Republik di Rawagede, mata-mata Belanda selalu kedapatan. Belanda yang gusar lalu mencoba melakukan perlawanan kembali. Tak main-main, Belanda menurunkan pasukan besar. Batalion ke-9 tentara Belanda dari Resimen Infantri yang dipimpin oleh Mayor Wijman dilibatkan untuk mencari Lukas Kustarjo.
Pada tanggal 9 Desember 1947, pasukan itu diturunkan. Desa Rawagede langsung dikepung. Mereka menggeledah tiap rumah. Penduduk Rawagede lalu dikumpulkan ke dalam kelompok kecil yang isinya antara 30-40 orang.
Satu persatu warga Rawagede ditanyakan sembari ditodongi pistol oleh tentara Belanda. semua warga yang ditanyai tak ada yang memberi tahu keberadaan Lukas Kustrarjo dan pejuang lainnya. Mereka mengaku tidak tahu. Ada pula yang memilih diam.
Di tengah hujan, Belanda yang Geram langsung meminta seluruh laki-laki dewasa di Rawagede membentuk kelompok kecil. Mereka dipisah dari anak ataupun istrinya. Mereka diberikan perintah jongkok dengan membelakangi tentara Belanda. Pembantaian pun dimulai. Deru suara pistol silih berganti terdengar. Tak lama setelahnya, tangisan dari ibu-ibu yang kehilangan suaminya, anaknya, hingga kerabatnya pecah di tengah hujan.
Adapun yang mencoba meloloskan diri dengan terjun dan bersembunyi di kali ikut dibantai oleh Belanda. tanpa belas kasih Rawagede dibuat banjir darah. Tragedi itu memakan korban jiwa sebanyak 431 orang. Namun, Belanda berkelit.
Dalam nota ekses dari Belanda jumlah korban meninggal dunia hanya 150 orang saja. Tak lebih. Meski begitu, kekejaman Belanda itu langsung dikutuk dunia. Bahkan, Dewan Keamanan PBB pada 1948, menyebut aksi Belanda sebagai kesengajaan dan kejam.
“Namun, karena patroli pasukan Belanda menggunakan anjing pelacak, keberadaan mereka akhirnya diketahui. Setiap rumpun eceng gondok di sungai tersebut kemudian diberondong peluru. Akibatnya, dalam sekejap mayat-mayat bergelimpangan."
"Jeritan kesakitan terdengar di mana-mana. Hal itu malah mengakibatkan berondongan peluru yang makin membabi buta. Dalam waktu yang bersamaan, sungai kecil yang merupakan saluran pembuang itu, airnya seketika berubah warna menjadi merah karena darah,” tutup Her Suganda dalam buku Rengasdengklok: Revolusi dan Peristiwa (2009).
*Baca Informasi lain soal MASA PENJAJAHAN BELANDA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.