Bagikan:

JAKARTA - Nama besar Soeharto kelewat istimewa di masa Orde Baru (Orba). Restunya berlaku bak takdir. Campur tangan Soeharto dalam regenerasi pucuk pimpinan TNI Angkatan Darat (AD), misalnya. Soeharto memberi kejutan dengan memilih Jenderal Rudini sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD). Padahal ada tiga jenderal senior yang dicalonkan. Soeharto ogah pusing. Militer adalah domainnya. Ia percaya Rudini pilihan tepat. Rudini membuktikannya.

Soeharto adalah figur yang demen merawat citra. Citranya harum disegala lapisan masyarakat. Yang paling populer citra tentang kepahlawanan Soeharto. Ia digambarkan sebagai bapak pembangunan hingga pahlawan yang berjasa menumpas G30S.

Gambaran itu muncul sebagai bentuk keberhasilannya merekontruksi sejarah. Karenanya, citra kepahlawanan dari rezim Orba jadi menonjol. Sedang tokoh-tokoh besar lainnya perannya direduksi. Bahkan, tokoh-tokoh itu diperlakukan layaknya 'figuran' dalam sejarah bangsa Indonesia.

Upaya penguatan citra rezim Orba dilakukan dengan ragam cara. Beberapa di antara mengontrol penulisan sejarah. Pemerintah pun mencoba jadi sponsor. Penulisan sejarah itu meliputi segala bidang –dari sejarah populer hingga lisan.

Kontrol itu jadi bukti bahwa Soeharto paham benar narasi sejarah ditulis oleh pemenang. Kontribusi sejarah dapat melanggengkan perannya sebagai penguasa terlama yang berada di pucuk kepemimpinan Indonesia. Demi menjaga citranya, Soeharto anti-kritik. Mereka yang bersebrangan akan segera ditindak tegas. Teror itu jadi kekuatan utamanya.

“Itu (perjuangan) tak bertambah gampang ketika kami harus berhubungan dengan lingkaran yang lebih luas. Tapi waktu itu kalangan pergerakan perlu membentuk jaringan, bahkan front bersama, secara pelan-pelan. Soeharto terlampau kuat, dan kami hanya sekelompok aktivis dengan jangkauan terbatas. Di luar pelbagai gerakan pro-demokrasi bergerak, diam-diam atau terbuka, dan kami saling mendukung, tapi tak ada front persatuan untuk perlawanan.”

Jenderal Soeharto (Sumber: Wikimedia Commons)

“Selebihnya gagu. Soeharto berhasil menundukkan Indonesia dengan cara yang efisien: menyebarkan ketakutan. Rezim itu punya modal teror yang amat cukup, setelah pada 1965-66 puluhan ribu orang dibunuh, dibui, dan dibuang. Dalam keadaan itu, membentuk kerja sama dengan kalangan lain dalam pergerakan pro-demokrasi perlu didahului dengan mematahkan teror itu. Dengan menjajal keberanian,” ungkap Goenawan Mohamad dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Herman (2009).

Setiap ada letupan perlawanan terhadap Orba, Soeharto selalu berhasil memadamkan api perjuangan. Semuanya karena militer selalu berada di belakang Soeharto. Apalagi tak ada bawahannya yang berani menolak perintah atau permintaan daripada Soeharto.

Sekalipun, pada mereka yang hanya membawa-bawa nama Soeharto. Nama besarnya terlampau kuat, seakan-akan ada aturan tak tertulis yang menyatakan bahwa soeharto sudah berkehendak, maka semuanya harus mengikuti.

Sederet pemimpin organisasi masyarakat atau pengusaha telah membuktikannya. Membawa embel-embel Soeharto membuat mereka dapat mengakses segala kemudahan, terutama perihal jabatan. Rapalan nama Soeharto mampu membuka semua pintu aturan. Karena itu, legal, tidak legal, tak lagi menjadi penting. Selama nama Soeharto hadir, tentu semua bisa diatur.

“Alih-alih kursi panas di jajaran eksekutif, untuk menjadi ketua partai, bahkan Ketua Palang Merah Indonesia, harus mendapat ‘restu' dari Socharto. Restu Soeharto juga harus dikantongi oleh wadah-wadah yang hanya boleh ada satu di Indonesia, seperti organisasi wartawan, dokter, buruh, pengusaha.”

“Karenanya jangan heran, besarnya kekuasaan Soeharto mengantarkan sejumlah catatan pembredelan pers yang mengkritik kebjakan orang kuat di Indonesia itu. Misalnya saja, Majalah Tempo, Editor, dan Detik ditutup tahun 1994,” kata Femi Adi Soempeno dalam buku Prabowo Titisan Soeharto? Mencari Pemimpin Baru di Masa Paceklik (2008).

Soeharto pilih KASAD

Presiden Soeharto (Sumber: Wikimedia Commons)

Pengaruh besar Soeharto juga muncul dalam regenerasi pucuk pimpinan TNI AD pada 1983. Kala itu Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhamkam), Jenderal M. Jusuf telah hadirkan tiga nama untuk menjadi pengganti KASAD, Jenderal Poniman.

Ketiganya adalah Wiyogo Atmodarminto, Soesilo Sudarman, dan Himawan Soesanto. Semuanya berasal dari perwira terbaik lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) Yogyakarta. Istri Soeharto, Siti Hartinah atau yang akrab disapa Ibu Tien turut memberikan referensi calon KASAD kepada suaminya. Calon yang dimaksud Ibu Tien adalah Dading Kalbuadi.

Jenderal kelahiran Cilacap itu dianggap Ibu Tien cukup cocok menjadi KASAD. Dading di matanya kenyang pengalaman perang membela negara. Dading pernah terlibat dalam serangkaian operasi besar, seperti operasi penumpasan DI/TII di Jawa Barat, PRRI/Permesta di Sumatera, dan G30S.

Soeharto tak ambil pusing dengan kemunculan calon-calon kuat pengganti KASAD. Lagi pula, Soeharto jarang mendiskusikan pilihannya untuk menghuni pucuk pimpinan TNI AD kepada banyak orang. Nyatanya, Soeharto punya pilihan lain. Ia secara mengejutkan memberi restunya kepada Jenderal Rudini sebagai KASAD.

Rudini lantas kaget. Secara pengalaman, Rudini terhitung masih muda dibanding empat jenderal yang dicalonkan. Baginya, pemilihan Rudini telah diukur dari banyak faktor. Sekalipun secara pengalaman masih kalah jauh.

Tapi Rudini tetap istimewa di mata Soeharto. Rudini digambarkan sebagai sosok yang berintegritas. Ia juga telah menempuh pendidikan militer di Breda, Belanda. Atas sejumlah pertimbangan itu, Jenderal kelahiran Malang itu terpilih menjabat KASAD periode 1983-1986.

Jenderal Rudini (Sumber: Mabes ABRI Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI. Repro buku 40 Tahun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia)

Pemilihan Rudini terhitung efektif. Ia tampak klop dengan Soeharto. segala bentuk gaya komunikasi Soeharto cepat dipahaminya. Pun instruksi-instruksinya. Jika ada anak buahnya yang melakukan kesalahan, maka Rudini segera pasang badan.

Pada saat Ibu Tien ditipu masalah sertifikat tanah oleh anak buah Rudini, misalnya. Rudini segera meminta maaf ke Soeharto. Lalu kemudian meminta maaf langsung ke Soeharto. itulah kemudian yang dimaksud sebuah integritas oleh Soeharto.

“Jenderal Rudini apabila ditelusuri riwayat karier militermya, memang sudah tampak menonjol sejak ia menjadi taruna di KMA Breda, Nederland. Pada ujian akhir tahun 1955, ia tercatat sebagai peraih ranking nomor satu di kelompok infanteri seangkatannya. Jabatan perwiranya dimulai sebagai Komandan Peleton di Kodam VII/Brawijaya 1956-1959, kemudian sebagai instruktur di AMN Magelang 1959- 1965. la juga pernah menjadi Wakil Komandan "Banteng Raiders" di Kodam VII/Diponegoro pada tahun 1965. Kariernya mulai menanjak ketika ia ditugaskan di KOSTRAD tahun 1970, dimulai dari Kepala Staf, meningkat menjadi Komandan Brigade 18 Lintas Udara (Linud) tahun 1972, kemudian Panglima Komando Tempur(Pangkopur) Linud tahun 1977.”

“Setelah itu, ia menjabat sebagai Kepala Staf KOSTRAD sampai meraih jabatan sebagai Pangkostrad tahun 1981-1983. Sebelum itu, ada tahun 1973, ia pernah bertugas sebagai Komandan Kontingen Garuda VIl di Timur Tengah dan Pangdam XII/Merdeka (Sulawesi Utara dan Tengah) tahun 1978 1981. Puncak karier militernya tercapai ketika ia meraih jabatan KASAD pada tahun 1983, menggantikan Jenderal Poniman, KASAD terakhir dari angkatan perwira TNI-AD eks PETA,” tulis Moekardi dalam buku Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Fisik 1945 sampai dengan 1949 (2019).

*Baca Informasi lain soal ORDE BARU atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya