JAKARTA - Ketika Kerajaan Mataram pecah, konflik semakin menjadi-jadi di tanah Jawa. Nafsu memperoleh kekuasaan dari para pewaris takhta dimanfaatkan pedagang Belanda VOC untuk memecah belah penguasa daerah tersebut. Lewat perjanjian Salatiga, VOC terlihat hadir sebagai penengah. Padahal, itu adalah politik pecah belah.
Seperti dijelaskan P. Swantoro dalam bukunya Dari Buku ke Buku (2020), saat itu Kerajaan Mataram berada di tangan Pakubuwono II (1726-1749). Raja yang berkedudukan di Surakarta itu kemudian dirongrong saudaranya, Pangeran Mangkubumi yang juga ingin menduduki takhta kerajaan.
Pada saat yang bersamaan, kemenakan Pakubuwono II, Raden Mas Said memberontak pula. Si empunya takhta tentu tak merelakan mereka menggantikan posisinya sebagai raja. Ia pun tidak senang dengan putera mahkota yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Swarga.
Sunan Swarga, sebagaimana ditulis Swantoro, dikisahkan sebagai tokoh yang memiliki dukungan besar dari kompeni alias VOC. Sunan Swarga yang kala itu 18 tahun dianggap masih terlalu muda. Selain itu, konon ia juga terlalu banyak menaruh perhatian terhadap selir-selir ayahnya.
Di tengah situasi perebutan kekuasaan itu, kesehatan Pakubuwono II sudah menurun. Pakubuwono II kemudian malah berpaling kepada kompeni. Ia menyerahkan nasib Kerajaan Mataram pada kekuasaan Belanda. Lalu, begitu Pakubuwono II tutup usia, kompeni lantas menunjuk putera mahkota sebagai pengganti ayahnya.
Hal ini jelas jadi masalah. Bukankah penunjukan penguasa yang lemah akan membuatnya jadi gampang dikendalikan? Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said puny tegas menyatakan tak bersedia mengakui kontrak kekuasaan itu.
Bersamaan dengan waktu penandatanganan kontrak, Pangeran Mangkubumi menyatakan dirinya sebagai Raja Mataram, dengan Yogyakarta sebagai ibukotanya. Sementara, Raden Mas Said masih terus bergerilya. Perebutan kekuasaan akhirnya mengakibatkan Kerajaan Mataram terbagi tiga.
Pada 13 Februari 1755, digelar lah Perjanjian Giyanti dengan Pangeran Mangkubumi yang kelak menjadi Hamengkubuwono I dan jadi Sultan Yogyakarta. Selain itu, perjanjian lainnya digelar pada 17 Maret 1757. Perjanjian abad 18 itu dinamai Perjanjian Salatiga, yang melibatkan kompeni dan Raden Mas Said.
Perjanjian itu melahirkan pembagian kekuasaan dari para "ahli waris". Pakubowono III --anak Pakubowono II-- menjadi Sunan Surakarta, Pangeran Mangkubumi atau Hamengkubuwono I menjadi Sultan Yogyakarta, dan Raden Mas Said menjadi Pangeran Adipati Mangkunegoro. Nama terakhir menguasai sebagian wilayah mataram, dengan kekuasaan meliputi wilayah yang sekarang disebut Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar dan Ngawen.
BACA JUGA:
Hasil diplomasi VOC
VOC sejatinya tak pernah berusaha memadamkan pertikaian dan api perebutan kekuasaan di dalam tubuh para bangsawan Mataram. VOC berpandangan, jika Kerajaan Mataram yang menguasai hampir seluruh pulau Jawa, dibiarkan sebagai penguasa tunggal, mereka akan jadi ancaman bagi VOC.
"Sebaliknya, jika ada dua atau lebih penguasa yang saling bersaing, tentu akan lebih mudah untuk mengontrolnya," tulis Mubtadilah dalam buku Intervensi VOC dalam Suksesi di Istana Mataram 1677-1757 (2015).
Kerajaan Mataram pasca mangkatnya Amangkurat I sebenarnya sudah lemah. Pasalnya, kekuatan kerajaan itu ditentukan oleh kekuatan militer dari masing-masing penguasa bawahannya untuk menegakkan kedaulatan. Hal itu dijelaskan Mubtadilah lewat tulisannya.
Ketidakstabilan politik di negeri Mataram menyebabkan raja kemudian meminta bantuan VOC yang kaya dan kuat secara militer. Masuknya VOC dalam perpolitikan Kerajaan Mataram tentu menimbulkan perubahan mendasar pada tata aturan pemerintah.
Misalnya, dari penobatan raja hingga penentuan pejabat pemerintah yang harus lewat persetujuan VOC. Alhasil, kebijakan itu mengundang banyak penolakan dari kalangan kerajaan. Tak sedikit pula yang berontak karena hal itu.
Selain itu setiap bantuan militer VOC untuk Kerajaan Mataram harus melalui perjanjian. Tujuannya untuk memonopoli juga melemahkan kerajaan. Begitulah. VOC jadi kekuatan pelindung bagi setiap raja Mataram. Dengan catatan, mereka mau ikut aturan main VOC.