Bagikan:

JAKARTA - Pulau Jawa tak pernah kehabisan figur raja-raja hebat. Keunggulan itu telah berlangsung sedari era kerajaan bernafaskan Hindu-Buddha hingga Islam. Namun, siapa sosok yang berhak menyandang gelar Raja Jawa tak pernah jadi teka-teki.

Sosok yang paling pantas adalah Sultan Agung dari Mataram Islam. Laku hidupnya banyak diisi dengan peperangan. Tiada yang tak dapat ditaklukkan Agung, dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Ambisi berkuasanya itu membuat Sultan Agung berani menantang kongsi dagang Belanda, VOC.

Negeri Jepang boleh berbangga memiliki tokoh besar sekelas Oda Nobunaga. Penguasa Owari yang genius itu mampu mengumandangkan kampanye politik penyatuan Jepang dan berhasil. Indonesia tak mau kalah. Dulu kala Pulau Jawa pernah punya sosok yang ingin menyatukan seisi Jawa.

Susuhunan Hanyakrakusuma atau yang belakangan dikenal sebagai Sultan Agung jadi pionir. Penguasa ketiga Mataram itu punya kampanye politik untuk menyatukan seisi Pulau Jawa. Keinginan itu bukan cuma pepesan kosong belaka.

Gambaran serangan pertama Mataram di bawah Sultan Agung ke Batavia yang dikuasai VOC pada 1628. (Wikimedia Commons)

Sosok yang dijuluki Belanda Agoeng de Grote (Agung yang Besar) pernah tercatat memulai misinya menaklukkan kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur sejak 1614. Ia mulai menguasai banyak kawasan di Jawa, setapak demi setapak.

Keungulan armada dan strategi perang jadi muaranya kemenangannya. Pun beberapa kali Sultan Agung kerap memimpin sendiri tentaranya. Satu demi satu kemenangan didapatkannya. Ia mulai menguasai Lasem (1616), Pasuruan (1617), hingga Tuban (1619).

Kemenangan itu membuat Sultan Agung ingin menguasai wilayah Surabaya yang kuat. Ia mengganggap Surabaya adalah jalannya untuk menguasai seisi Jawa Timur. Peperangan itu berlangsung dari 1620-1625. Alih-alih Surabaya saja, semua sekutu Surabaya berhasil dirontokkan hingga Madura.

Jawa Timur dan Jawa Tengah jatuh pada genggamannya. Kerajaan-kerajaan di daerah Jawa Barat, dari Cirebon hingga Sumedang Larang mengikuti jejak kerajaan lain – setia di bawah kuasa Sultan Agung.

Kondisi itu membuat Sultan Agung dari Mataram jadi Raja Jawa yang fenomenal. Sekalipun dia belum dapat menggenapi kekuasaan dengan menaklukkan Kesultanan Banten.

“Akan tetapi, Agung tidak berhenti sampai di situ. Memang tidak mungkin baginya untuk berhenti. Bagaimanapun juga, kerajaannya bergantung pada keunggulan tentaranya. Keampuhan Agung harus selalu didemonstrasikan karena takut jika kepentingan regional dan orang-orang kuat akan mencoba bersikap terlalu bebas.”

“Pada tahun 1627, Pati berusaha memberontak dan Agung menindasnya dengan menimbulkan kerugian besar. Satu-satunya yang dapat menggoyahkan kerajaannya yang rapuh adalah kekalahan; inilah yang harus dihindarinya betapa pun besarnya biaya yang harus ia keluarkan,” ungkap sejarawan M.C. Riclefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (2008).

Lawan Kompeni

Sultan Agung tak lantas berpuas diri dengan kekuasaannya. Ia tetap berambisi untuk menguasai seluruh Jawa Barat – Banten yang utama. Keinginan Mataram menguasai Banten tak tertahankan. Masalah muncul.

Vasal kekuasaan Banten, Jayakarta sudah dikuasai oleh Kompeni dengan mengubahnya jadi Batavia sedari 1619. Keinginan Sultan Agung menyerang Banten mau tak mau terganggu. Sebab, satu-satunya jalan untuk menaklukkan Banten adalah harus menaklukkan Batavia terlebih dahulu.

Opsi itu coba dipikirkan oleh Sultan Agung. Alhasil, Sultan Agung mengaungkan peperangan kepada VOC pada 1628. Sultan Agung menggerakan sekitar 10 ribu pasukan untuk mengepung Batavia. Mereka mencoba membuat kota itu kekurangan air dengan membendung kali.

Suatu siasat yang dipercaya dapat membuat Kompeni kelaparan dan terkena penyakit. Namun, malang tak dapat ditolak. Pasukan Mataram yang belum terbiasa berperang dengan siasat benteng ala Batavia harus menanggung malu.

Potret Wayang Sultan Agung dari Mataram dan reka cipta peristiwa penyerbuan Batavia dalam perangko edisi khusus. (Wikimedia Commons)

Pasukan Mataram banyak kelaparan dan kena penyakit karena urusan perbekalan yang amburadul. Sultan Agung kian geram. Ia pun mulai mempersiapkan serangan kedua ke Batavia pada 1629. Perbekalan pun coba dikirim lewat jalur laut.

Rencana itu berujung nahas karena armada VOC unggul besar di lautan. Keunggulan armada perang Mataram tak berarti apa-apa bagi Kompeni karena kacaunya perbekalan. Pasukan Mataram digembosi dari sana-sini. Puncaknya, perang melawan Kompeni tak pernah dimenangi oleh Mataram.

Boleh jadi satu-satunya kemenangan bagi Sultan Agung adalah tewasnya pelatak dasar kolonialisme di Nusantara, Jan Pieterszoon Coen kala pengepungan kedua berlangsung. Menurut catatan Belanda, Coen mati karena terkena penyakit tropis, bukan dibunuh Mataram. Narasi itu tak menggoyahkan gelar Raja Jawa kepada Sultan Agung.

Potret Wayang Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen dan reka cipta peristiwa penyerbuan Batavia dalam perangko edisi khusus. (Wikimedia Commons)

“Sultan Mataram berang, kemudianmelancarkan upaya kedua dnegan mengirimkan pasukan yang lebih besar untuk mengepung kota. Sekali lagi, Jawa tidak dapat menyediakan perbekalan untuk pasukannya. Karena jalan-jalan di wilayah tersebut sangat buruk, mereka harus mengirimkan perbekalan melalui laut, dan armada angkatan laut VOC yang lebih superior memastikan perbekalan tersebut tidak akan mencapai pasukan Jawa.”

“Pasukan pengepung terpaksa mundur dan kehilangan banyak anggotanya akibat kelaparan dalam perjalanan pulang ke Mataram. Pada waktu it, Belanda tidak merayakannya karena pemimpin mereka, Jan Pieterszoon Coen, meninggal akibat penyakit tropis pada 1629 ketika pengepungan masih berlangsung,” ungkap Susan Blackburn dalam buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2012).