JAKARTA - Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau Amangkurat I adalah Raja Mataram yang memerintah pada 1646-1677. Ia adalah putra dari Sultan Agung Hanyokrokusumo, yang dikenal sangat gila dalam menyebarkan kekuasaan.
Pada 1645, Amangkurat I diangkat menjadi Raja Mataram untuk menggantikan ayahnya. Ia kemudian mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga. Dalam bahasa Jawa, 'Amangku' berarti memangku dan 'Rat' berarti bumi. Kata lainnya, Amangkurat berarti 'memangku bumi'.
Saat Mataram masih di bawah pemerintahan Sultan Agung, sejarah Mataram diwarnai dengan bala tentara yang melakukan penaklukan terhadap daerah-daerah yang dianggap membahayakan. Dilansir dari jurnal Mistifikasi dan Pengagungan Kekuasaan dalam Babad dan Hikayat: Kontinuitasnya dalam Sistem Kekuasaan Indonesia Modern oleh Sudibyo, hal tersebut merupakan watak otokrasi Sultan Agung yang tidak membiarkan kekuasaan terbagi dan terkoyak.
Keadaan berbalik ketika kekuasaan dipegang oleh sang putra, yaitu Amangkurat I. Berbeda dengan Sultan Agung, Amangkurat I bisa dibilang tidak paham mengenai teritorial. Amangkurat lebih mengunggulkan intrik-intrik dalam istana yang justru menimbulkan konflik dengan adiknya sendiri, yaitu Pangeran Alit.
Konflik berujung terbunuhnya ribuan ulama
Konflik Amangkurat I dan Pangeran Alit mengenai keabsahan takhta yang dimiliki Amangkurat I. Pangeran Alit meregang nyawa akibat pembantaian yang secara tidak langsung dilakukan oleh Amangkurat I.
Namun, ada hal lebih keji lain. Dalam pembantaian tersebut, Amangkurat I juga membunuh sekitar 6.000 ulama yang dipercaya mendukung adiknya untuk merebut takhta raja yang dimilikinya.
Melansir Historia, Amangkurat I membuat daftar para ulama beserta keluarga mereka untuk dikumpulkan. Setelah dikumpulkan, mereka dibantai di alun-alun Plered. Pembantaian tersebut terjadi pada 1647, saat pemerintahannya telah berjalan selama dua tahun.
“Dan dalam waktu setengah jam, tidak kurang dari lima sampai enam ribu orang dibantai. Van Goens (utusan VOC untuk Mataram) yang waktu itu berada di Plered, melihat dengan mata sendiri mayat-mayat yang bergeletakan di jalanan,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid II.
Namun, Amangkurat I tidak ingin tindak kotornya terlihat. Setelah peristiwa berdarah tersebut, ia tampil di istana dan memperlihatkan wajah marah dan terkejut. Amangkurat I memerintahkan orang-orang untuk menyeret ulama yang tidak terbunuh dan memaksa mereka mengaku sebagai dalang pembantaian tersebut.
BACA JUGA:
Orang-orang tersebut tidak memiliki pilihan lain, mereka akhirnya mengaku. Amangkurat I pun memerintahkan orang-orang kepercayaannya untuk membunuh mereka yang tidak bersalah. Tidak hanya mereka yang dituduh. Diketahui juga bahwa keluarga mereka dan pejabat istana juga ikut dibunuh.
Ia kemudian kembali ke istananya dengan penuh amarah. Di bawah kepemimpinan Amangkurat I, suasana kerajaan menjadi sangat tercekam dan penuh kekhawatiran. Tindakannya yang keji juga diketahui membuat kecurigaan negara terhadap kaum santri selama berabad-abad.
Amangkurat I meninggal saat perjalanannya menuju Batavia. Saat itu seorang pangeran bernama Trunajaya yang lelah akan sikap keji Amangkurat I menyerangnya untuk merebut takhta. Amangkurat I dan keluarganya lalu melarikan diri. Saat dalam perjalanan itulah Amangkurat I meninggal dunia. Ia lalu dimakamkan di Tegal.