JAKARTA - Orang Jawa dan hal klenik tak dapat dipisahkan. Kondisi itu membuat segala macam sesuatunya harus dipertimbangkan matang-matang. Urusan nama, misalnya. Nama tak boleh sembarang. Frasa nama adalah doa harus disesuaikan dengan anak.
Urusan salah nama bisa jadi bawa repot. Kondisi itu pernah dirasakan oleh Joko Widodo (Jokowi) kecil. Ia mulanya sempat punya nama kecil Mulyono bin Notomiharjo. Belakangan nama itu diganti karena bawa sial. Ia pun menggunakan nama baru: Jokowi.
Klenik adalah sesuatu yang penting dalam laku hidup sebagian besar orang Jawa. Praktik klenik tak melulu diartikan secara sempit sebagai urusan magis belaka. Klenik harus dilirik secara luas sebagai suatu aspek budaya Jawa yang juga jadi filosofi hidup bermasyarakat dan berbudaya.
Jangan heran jika tokoh bangsa macam Soekarno hingga Sultan Hamengkubuwono IX percaya klenik. Bung Karno, misalnya. Ia pernah punya nama kecil Kusno Sosrodihardjo. Namun, nama itu menurut klenik dianggap bawa masalah. Kusno kecil sering sakit-sakitan.
Orang tuanya pun berinisiatif mengganti namanya menjadi Soekarno. Sebuah nama yang berasal dari kisah Bharatayuddha yang menghadirkan seorang panglima perang bernama Karna. Nama itu disematkan dan disesuaikan dengan logat Jawa jadi Karno.
Orang tuanya pun melengkapinya dengan awalan Soe (su) yang berarti baik atau lebih kaya, atau untung. Namu, urusan ganti nama bukan monopoli Bung Karno belaka. Presiden Indonesia ke-7, Joko Widodo juga pernah punya nama kecil.
Dulu kala orang tuanya, Widjiatno Notomiharjo dan Sudjiatmi Notomiharjo senang sekali anaknya lahir di Rumah Sakit Brayat Minulyo, Surakat pada 21 Juni 1961. Anak laki-laki itu diberikan nama Mulyono bin Notomiharjo.
Nama itu memiliki arti mulia atau kemuliaan. Malang tak dapat ditolak. Mulyono kecil sering sakit-sakitan. Apalagi, kala itu kondisi perekonomian keluarganya sedang tak baik-baik saja. Kondisi itu membuat orang tua Jokowi mengambil langkah sebagaimana orang Jawa yang percaya klenik.
BACA JUGA:
Nama Mulyono kemudian diganti ke Joko Widodo. Joko berarti anak laki-laki. Kemudian, Widodo adalah sejahtera dan sehat selalu. Tujuannya supaya sang anak bisa hidup sejahtera.
“Ayahnya, Notomiharjo, adalah seorang penjual kayu, dengan keuntungan tidak tetap dan tidak teratur. Jokowi awalnya bernama Mulyono, tapi setelah menderita beberapa penyakit, orang tuanya mengubah namanya dengan harapan keberuntungan yang lebih baik, seperti kebiasaan orang jawa. Mereka memilih nama Joko Widodo, dan anaknya segera sembuh dengan misterius,” ujar Ben Bland dalam buku Man of Contradictions (2020).
Joko-Oui jadi Jokowi
Hidup dengan nama Joko Widodo bawa berkah. Ia tak lagi sakit-sakitan. Joko Widodo pun mulai menamatkan pendidikan dan belajar sebagai pegekspor mebel. Pekerjaannya itu membuat Joko Widodo mulai dikenal sebagai Jokowi.
Mulanya sebutan Jokowi bukan berasal dari singkatan Joko Widodo. Semuanya berawal dari sahabat dan rekan bisnis Jokowi yang bernama Michel Romagnan yang baru datang ke Surakarta pada 1989. Pria berkebangsaan Prancis itu akrab dengan Joko Widodo.
Keakrapan itu dibangun sedari awal Jokowi mulai menekuni dunia mebel dengan bekerja di perusahaan pamannya, Roda Jati. Saban hari ia berjumpa dengan Michel Romagnan yang kebetulan jadi konsultan bisnis pamannya.
Keduanya jadi dekat. Bahkan, hingga Romagnan mulai membangun bisnis sendiri. Begitu pula Jokowi. Segala macam kebutuhan Romagnan dalam dunia mebel, Joko Widodo selalu membantu. Masalahnya, bukan cuma Joko Widodo yang menyuplai bahan ke Romagnan.
Banyak di antara pemasok yang lainnya juga bernama Joko. Romagnan ogah pusing. Ia mengamati bagaimana keseharian Joko Widodo. Ia melihat etos kerja keras Joko Widodo yang menginspirasi. Tiap Romagnan meminta sesuatu kepadanya, Joko Widodo selalu bisa dan tak pernah berkata tidak.
Kesan itu membuatnya memanggil Joko Widodo dengan kata Joko-Oui. Oui dalam bahasa Prancis berarti ya. Panggilan akrab Joko-Oui pun mulai sering terucap. Rekan-rekannya juga mulai memanggi Joko Widodo dengan Joko-Oui.
Belakangan karena pelafalan lidah orang Jawa, panggilan Joko-Oui lalu berangsur jadi Jokowi. Sebuah nama yang kemudian kita kenal hari ini sebagai Presiden Indonesia ke-7.
“Di mata Romagnan, Joko Widodo paling menonjol dari Joko-Joko yang lain karena ia selalu bersikap positif-optimistis. Setiap kali Michel bertanya: Bisakah Anda membuat ini? Joko Widodo pasti menjawab: Ya, tentu saja saya bisa.”
“Joko Widodo tidak pernah berkata, Tidak, saya tidak bisa. la selalu optimistis bisa melakukan sesuatu yang diinginkannya. Romagnan pun menjulukinya ‘Ya’ Joko. Karena Romagnan orang Perancis, maka ia menerjemahkan ‘Ya’ ke dalam bahasa Perancis menjadi oui. Dan, sejak saat itu Romagnan memanggil Joko Widodo dengan sebutan Joko-oui, di masyarakat Solo,” ujar Mukti Ali Qusyairi dalam buku Ulama Bertutur Tentang Jokowi: Jalinan Keislaman, Keumatan, dan Kebangsaan (2018).