Bagikan:

SURABAYA - Pilpres langsung masih menghasilkan pembelahan (polarisasi) masyarakat dan aksi saling hujat serta caci maki antar pendukung pasangan calon peserta Pilpres. Bagi Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Pilpres secara langsung tidak cocok diterapkan di Indonesia.

"Kita sudah punya sistem asli, pemilihan mandataris MPR melalui wakil yang utuh, alias penjelmaan rakyat, sehingga yang bermusyawarah itu seharusnya para hikmat. Tapi karena praktek penyimpangan yang terjadi di era Orde Baru, sistem rumusan pendiri bangsa itu kita buang, dan kita ganti dengan sistem barat yang individualis dan liberal, akibatnya kita menjadi bangsa lain, bangsa yang tercerabut dari akarnya,” urai LaNyalla di Surabaya, Selasa 21 November.

Dikatakan LaNyalla, seharusnya saat Reformasi, yang dibenahi adalah penyimpangan di era Orde Baru. Bukan malah mengganti sistem bernegara dengan mengadopsi sistem liberal.

“Makanya dalam beberapa kesempatan, saya selalu sampaikan bahwa polarisasi bangsa yang terjadi akibat Pilpressung harus kita akhiri. Polarisasi di masyarakat sangat tidak produktif dan menurunkan kualitas kita sebagai bangsa yang beradab dan beretika,” papar dia dalam keterangannya.

LaNyalla menggambarkan bagaimana antar kelompok di masyarakat melakukan aksi reaksi atas output pesan masing-masing baik dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Ditambah pola komunikasi elit politik yang kerap menimbulkan kegaduhan. Sehingga semakin lengkap pembelahan yang terjadi.

“Kita sempat menyaksikan sweeping bendera, kaos, forum diskusi, pembubaran atau pelarangan forum pertemuan dan lain sebagainya. Sampai hari ini, masih saja terjadi olok-olok antar kelompok, dengan sebutan-sebutan yang jelek. Padahal sudah sangat jelas, olok-olok dengan sebutan yang jelek, dilarang Al-Quran,” tegasnya.

LaNyalla juga menyatakan, pemilihan presiden secara langsung telah melahirkan politik kosmetik dan merusak kohesi bangsa. Karena terjadi mobilisasi di masyarakat oleh elit-elit politik. Ditambah dengan pembenaran-pembenaran atas mobilisasi tersebut. Sementara di satu sisi, ada kritik dan protes atas mobilisasi tersebut. Sehingga akan terus terjadi saling hujat.

"Pemilihan presiden secara langsung yang kita adopsi begitu saja, telah terbukti melahirkan politik kosmetik yang mahal harganya. Apalagi batu uji yang digunakan untuk mencari pemimpin lewat pemilihan langsung adalah popularitas yang bisa difabrikasi melalui media komunikasi,” imbuhnya.

LaNyalla juga mengatakan elektabilitas yang dimiliki para kandidat juga dapat digiring melalui angka-angka survei, lalu disebarluaskan oleh para buzzer di media sosial dengan narasi-narasi saling hujat atau sebaliknya puja-puji buta. Dan pada akhirnya, rakyat pemilih disodori oleh realita yang dibentuk sedemikian rupa.

LaNyalla menilai sudah saatnya Pilpres Langsung dievaluasi. Sebab, selain menimbulkan banyak gejolak di tengah-tengah masyarakat, faktanya Pilpres Langsung bertentangan dengan mekanisme pengambilan keputusan yang tertuang dalam Sila Keempat Pancasila.

"Sila Keempat Pancasila mengajarkan kepada kita bahwa demokrasi kerakyatan kita melalui perwakilan para hikmat, yang berada dalam satu wadah yang utuh, di lembaga tertinggi negara,” tukasnya.