Bagikan:

JAKARTA – Eksploitasi anak di tahun politik masih menjadi isu yang mengkhawatirkan, sebagaimana diungkapkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Kekhawatiran terkait eksploitasi anak dalam Pemilu kembali mengemuka menjelang masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang akan dimulai pada 28 November 2023 dan berakhir 10 Februari 2024, atau empat hari sebelum jadwal pemungutan suara digelar.

Sejumlah anak terlibat dalam kampanye pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin menjelang Pemilu 2019. (Istimewa)

Berkaca pada pesta demokrasi sebelumnya, anak seringkali dieksploitasi selama masa kampanye bahkan hingga setelah selesai pemilihan.

Menurut Komisioner KPAI Sylvana Apituley, melibatkan anak dalam kampanye adalah bentuk pelanggaran hak anak. Sylvana mengatakan, eksploitasi anak sudah terjadi sejak Pemilu dan Pilkada 2014 dan 2019.

Konten Kampanye Bukan untuk Konsumsi Anak

Kampanye sendiri sudah diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (PKPU) Nomor 23 Tahun 2018, yang artinya adalah kegiatan peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri peserta Pemilu.

Idealnya, kampanye dilakukan secara jujur, terbuka, tertib sehingga pesta demokrasi yang aman dan damai bisa terwujud.

Namun kenyataan di lapangan tidak demikian. Alih-alih menciptakan iklim politik yang menyejukkan, momen Pemilu justru menjadi ajang perpecahan karena perbedaan pilihan tidak disikapi dengan bijak.

Sejumlah anak bermain di Taman Interaksi Warga, Jalan Inspeksi Tarum Barat, Jakarta, Selasa (14/11/2023)

Pada Pemilu dua edisi terakhir misalnya, saling caci dan saling benci seolah menjadi cerminan masyarakat umum Indonesia. Potret saling benci yang jamak ditemukan dalam konten kampanye diilai Sylvana berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang dan masa depan anak.

"Berbagai bentuk materi kampanye yang tidak sesuai dan dapat merusak perkembangan emosi dan mental anak, berupa agitasi, propaganda, stigma dan hoaks yang mengadu domba tentang lawan politik, ajakan untuk mencurigai dan membenci, serta politisasi identitas yang dapat memperuncing disharmoni, akan membentuk persepsi, sikap dan prilaku sosial anak yang negatif pula," katanya.

Ia juga khawatir anak akan memberi label negatif kepada orang lain yang memiliki perbedaan pilihan politik. Padahal kenyataanya perbedaan pandangan dalam politik adalah hal yang lumrah.

Kampanye Ramah Anak

Bertepatan dengan Hari Anak Sedunia 2023 yang jatuh pada 20 November, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengajak semua pihak untuk memberikan perlindungan dalam penyelenggaraan Pemilu yang ramah anak tahun depan.

“Hari anak sedunia kita jadikan momentum negara hadir dalam hal perlindungan anak dalam penyelenggaraan Pemilu tahun 2024,” kata Bintang Puspayoga di Jakarta, mengutip Antara, Senin (20/11/2023).

Sesuai pasal 16 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilu dan Pasal 280 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu secara tegas larangan melibatkan anak-anak dan orang yang tidak memiliki hak pilih.

Dituturkan Sylvana, anak masih rawan dieksploitasi di setiap Pemilu. Ia mengatakan KPAI mencatat ada 15 bentuk eksploitasi dan kekerasan terhadap anak di masa kampanye dengan berbagai modus yang bervariasi.

"Misalnya, penyalahgunaan tempat bermain anak, tempat penitipan anak, dan atau tempat pendidikan untuk kegiatan kampanye," kata Sylvana.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga dalam acara peringatan Hari Anak Sedunia 2023 di Jakarta, Senin (20/11/2023). (Antara/ Anita Permata Dewi)

Beberapa bentuk eksploitasi anak lainnya dalam Pemilu adalah mobilisasi anak oleh partai politik atau calon kepala daerah. Selain itu, anak juga sering ‘dipakai’ sebagai juru kampanye untuk memilih calon anggota legislatif, presiden, atau partai politik tertentu. Anak juga kerap ditampilkan sebagai bintang utama iklan politik, bahkan tampil di atas panggung kampanye Parpol meski itu dalam bentuk hiburan.

Hal lainnya yang sering dijumpai adalah kita seringkali melihat anak memakai atribut Parpol atau menjadi alat praktik politik uang oleh Parpol maupun calon kepala daerah.

Senada, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi menekankan pentingnya menjauhkan anak dari kampanye Pemilu. Ia menegaskan, eksploitasi anak dalam kampanye Pemilu melanggar undang-undang dan mendesak badan pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk memberikan sanksi tegas kepada pihak-pihak yang masih memanfaatkan anak dalam kampanye.

“Sering tanpa disadari anak dilibatkan dalam kampanye. Keselamatan anak menjadi tidak diperhatikan dan ini adalah eksploitasi politik anak,” kata pria yang dianggap Kak Seto kepada VOI.

Melibatkan anak dalam kampanye Pemilu kerap dianggap lumrah, karena ini adalah ajang belajar politik bagi anak. Tapi, Seto Mulyadi tidak sependapat dengan hal itu. Menurutnya, belajar politik untuk anak tidak harus dengan ikut kampanye yang justru dinilai mengabaikan hak anak.

“Belajar politik untuk anak tidak dengan cara kampanye, tapi ada cara lain. Misalnya pemilihan ketua kelas di sekolah. Ini kan juga bisa dianggap sebagai belajar politik karena ketua kelas dipilih, diputuskan dengan suara terbanyak,” imbuh pria kelahiran 28 Agustus 1951 itu.

Polemik Kampanye di Sekolah

Kekhawatiran anak menjadi korban dalam kampanye politik sebenarnya sudah sering disuarakan berbagai pihak. Termasuk saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak melarang kampanye politik di tempat Pendidikan pada Agustus lalu.

Putusan nomor 65/PUU-XXI/2023 ini memantik polemik. Kampanye di lingkungan pendidikan dianggap bisa menjadi salah satu arena pembelajaran bagi siswa. Kampanye di lingkungan pendidikan dinilai dapat mempromosikan kesadaran politik dan partisipasi aktif di kalangan generasi muda. Selain itu, kampanye di sekolah juga bisa dibilang menjadi sarana praktik langsung guna memahami pentingnya partisipasi dalam proses demokrasi.

Namun di sisi lain, kampanye di sekolah juga memiliki dampak negatif, di antaranya potensi konflik horizontal serta bullying atau perundungan. Hal ini pernah diungkapkan Satriwan Salim selaku Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) saat berbincang dengan VOI.

Anggota KPU Kabupaten Badung bersama maskot Pemilu 2024 Sura dan Sulu memberikan informasi terkait tahapan Pemilu 2024 kepada sejumlah pelajar di Badung, Bali, Senin (14/8/2023). (Antara)

“Pertama kami merasa khawatir sekolah menjadi ajang politik praktis. Ini akan membebani guru, murid, orangtua, dan kurikulum. Kegiatan kampanye di sekolah juga berpotensi mengganggu proses belajar mengajar,” kata Satriwan Salim.

Selain itu, preferensi politik yang berbeda antara kepala sekolah, guru, dan murid dalam Pemilu juga disebut bisa mengancam keharmonisan di lingkungan pendidikan. Alih-alih menimbulkan suasana politik yang adem, kampanye di sekolah justru bisa berpotensi menciptkan perundungan saat terjadi perbedaan pandangan.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, masyarakat Indonesia masih belum bisa menyikapi perbedaan pandangan politik secara bijak, sehingga potensi perundungan dapat terjadi bahkan di lingkungan pendidikan.