JAKARTA - Diego Armando Maradona adalah legenda. Dunia mengenalnya sebagai seniman sempurna di lapangan hijau. Maradona tak saja membangun permainan indah, tapi juga selalu jadi inspirasi bagi tim yang ia perkuat. Lebih dari itu, Maradona adalah pejuang ideologis. Aksi gol “tangan Tuhan” yang sensasional kala menghadapi Inggris di perempat final Piala Dunia 1986 jadi bukti. Gol itu tak hanya angka, tapi juga kemenangan ideologi Maradona sebagai pendukung utama sosialisme.
Maradona lahir di Lanus, Argentina pada 30 Oktober 1960. Semasa kecil, Maradona hidup di bawah garis kemiskinan. Maradona menjalani masa-masa itu di sebuah desa miskin bernama Avellanda, yang terletak di kawasan kumuh di Villa Florito, daerah pinggiran luar Buenos Aires.
Di tengah keterbatasan, sepupu Maradona, Beto jadi juru selamat. Beto memberikan hadiah ulang tahun sebuah bola kepada Maradona. Semenjak saat itu bola menjadi teman paling setia Maradona dalam menjani masa sulit.
Dengan bola yang diberikan Beto, Maradona saban hari mengasah bakatnya. Melansir New York Times, Kamis, 26 November, Maradona selalu membawa bolanya ke manapun untuk berlatih teknik dasar menggiring bola. Jika tak membawa bola, Maradona akan menggunakan barang lain, baik itu kepalan kertas, buah jeruk, atau apapun selama bisa ia giring dan sepak.
Singkat cerita, Maradona mulai merintis karier sepak bolanya pada usia delapan tahun. Postur tubuhnya yang pendek sempat memancing keraguan bahwa Maradona dapat lolos dalam uji coba yang digelar sebuah tim sepak bola lokal, Cebolliotas.
Cebolliotas adalah tim junior Argenitos Juniors. Pelatih Cebolliotas, Fransisco Conejo mengungkap kesan pertama terhadap Maradona. Kata Conejo: Maradona seperti datang dari planet lain.
Meski diragukan, Maradona akhirnya dapat menjebol pintu kesempatan bergabung bersama Cebolliotas. Kesempatan itu dibayar Maradona. Conejo pun kepincut. Sang pelatih bahkan menyebut Maradona sebagai pesepak bola tiada dua di dunia. Menurut Conejo, bola seolah hewan peliharaan yang menuruti perintah kaki Maradona.
Di tiap penampilan di lapangan hijau, baik sesi latihan atau pertandingan, Maradona selalu menyuguhkan aksi menarik. Maradona mengubah permainan bola bak sebuah karya seni lewat kemampuan menggiring bola yang memukau, umpan luar biasa, serta tembakan menusuk. Paket lengkap itulah yang membawa jalan hidup Maradona dari seorang anak Argentina miskin menjadi legenda sepak bola dunia.
Pencundangi kolonialisme Inggris
Salah satu momen paling diingat dalam karier seorang Maradona adalah ketika ia menciptakan gol “tangan Tuhan” dalam pertandingan melawan Inggris di perempat final Piala Dunia 1986, Meksiko. Emir Kusturica, sutradara film dokumenter, Maradona (2008) mengungkap gol itu merupakan gol politis. Maradona, kata Kusturica mempersembahkan gol itu sebagai bentuk balas dendam atas keputusan Inggris yang menyerukan serangan ke Kepulauan Malvinas tahun 1982.
Kusturica bahkan mengemas adegan gol itu dengan cara berbeda. Dikutip Yos Rizal Suriaji dan Asmayani Kusrini dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Maradona dan Cerita Palem Mas (2008), Kusturica mengemas agedan gol tangan Tuhan dengan gambar kapal perang Inggris yang tengah membombardir Malvinas.
Gambar itu diselingi pidato Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher dan Presiden Amerika Serikat (AS) Ronald Reagan. Kusturica juga menyuntikkan lagu God Save The Queen (1977) yang dinyanyikan Johnny Rotten, The Sex Pistols untuk membungkus seluruh adegan itu: God save the queen/The fascist regime/They made you a moron.
"Maradona adalah The Sex Pistols di lapangan bola," ucap Kusturica.
Bagi Maradona, melawan Inggris bukan urusan lapangan hijau belaka, namun telah menjadi urusan personal. Maradona diketahui memang membenci jejak kolonialisme Inggris di Argentina. Maradona juga menyebut gol tangan Tuhan sebagai balasan setimpal terhadap aksi Inggris "mencuri" Malvinas. Sikap antikolonialisme itu disanyilir telah berakar di dalam diri Maradona jauh sejak Inggris bercokol sebagai penjajah Argentina selama abad 19 hingga 20.
Pada masa itu, seperti kolonialisme lainnya, Inggris datang ke Argentina untuk mengeksploitasi semua sumber daya di negeri itu, mulai dari jaringan kereta api, bank, dermaga, toko swalayan, hingga budaya. Sejarawan David Downing menggambarkan situasi itu. "Semuanya dikuasai, kecuali nama."
Secara budaya, Downing mencontohkan kegemaran bermain polo dan minum teh di sore hari. Kebiasaan itu telah dikenal lama sebagai budaya orang Inggris di Argentina. Pun sepak bola. Olahraga ini diperkenalkan oleh para pelaut Inggris dan buruh jaringan kereta api. Liga sepak bola pertama di Argentina digagas oleh seorang kepala sekolah Inggris di Buenos Aires. Namun, Maradona menolak narasi itu.
“Bagi Maradona, akar sepak bola Inggris di Argentina tak pernah nyata. Sepak bola, bagi pemain kelahiran 1960 itu sudah menjadi milik sah rakyat Argentina. la menyebutnya 'la nuestra,' yang berarti 'barang kami.' La nuestra didasari oleh gaya gambeta, atraksi menggiring bola yang atraktif di antara pemain pertahanan lawan. Gaya inilah yang diperagakan Maradona ketika menggiring bola melewati tujuh pemain Inggris sendirian,” ungkap Yos Rizal dan Asmayani.
Aktivis sosialisme
Kiprah Maradona di luar lapangan juga sangat menarik diikuti. Maradona tak saja maestro sepak bola tetapi juga aktivis sosialisme. Akarnya adalah ideologi Maradona yang anti-kolonialisme sejak dulu. Ideologi itulah yang membuatnya banyak tampil menentang segala bentuk imperialisme dan memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi masyarakat. Dalam segala pergerakannya, Maradona mengikuti jejak tokoh sosialisme, Ernesto “Che” Guevara, terutama terkait narasi kesetaraan.
“Dia memiliki potret terkenal Ernesto ‘Che’ Guevara, rekan senegaranya yang revolusioner dalam bentuk tato di salah satu lengannya. Dan wajah revolusioner Kuba, Fidel Castro di salah satu kakinya. Kecintaannya pada Kuba telah diungkapnya selama bertahun-tahun. Bahkan, dirinya sering mengunjungi pulau itu dan berbicara dengan Fidel Castro. Alhasil, Maradona menjadi kritikus sengit kebijakan neo liberal di benua yang ia sayangi,” tulis Telesur English, dikutip Kamis, 26 November.
Tercatat, kali pertama Maradona mengunjungi Kuba adalah tahun 1987. Kunjungan itu dilakukan satu tahun setelah tim Argentina memenangi Piala Dunia 1986 di Meksiko. Sejak itu, Maradona menjalin persahabatan yang kuat dengan panglima tertinggi, Fidel Castro. Setelahnya, Maradona menjadi pembela utama Kuba dan kebijakan-kebijakannya.
Maradona terpesona dengan revolusi di Bolivia dan Venezuela. Ia pun turut melakukan kunjungan ke dua negara itu berkali-kali. Maradona berjumpa dan menjalin persahabatan dengan revolusioner Bolivia, Evo Morales dan revolusioner Venezuela, Hugo Chavez. Bahkan Chaves sendiri pernah mengejutkan Maradona dengan ikut bergabung dalam konferensi persnya pada 2010.
BACA JUGA:
Chavez berseloroh kepada wartawan bahwa suatu hari Venezuela akan mengalahkan Argentina dan Brazil. Maradona pun terkejut sekaligus tersenyum. Saat Chavez meninggal, Maradona berkunjung ke makam temannya itu bersama dengan Presiden Venezuela Nicolas Maduro. Sejak itu Maradona menjalin persahabatan erat dengan Maduro.
“Yang ditinggalkan Hugo untuk saya adalah persahabatan yang hebat, kebijaksanaan politik yang luar biasa. Hugo Chavez mengubah cara berpikir Amerika Latin. Kami membungkuk ke Amerika Serikat dan dia menunjukkan kepada kami bahwa kami bisa berjalan sendiri,” kata Maradona setelah kematian Chavez.
Dukungan juga diberikan Maradona kepada Maduro yang saat ini sedang mengalami masa sulit di pemerintahan. “Jangan menyerah. Dalam sepak bola tidak masalah jika Anda kalah 3-0, jangan pernah menyerah. Anda tidak pernah menyerah dan Anda memberikan segalanya untuk Venezuela. Hidup Maduro!” dia memberi tahu Sang Presiden "kami adalah tentara Nicolas, saya datang ke sini untuk memberinya dukungan saya."
Atas sikap kritisnya, Maradona pun mendapatkan kritikan dari semua lini. Kendati demikian, Maradona tak memedulikannya. Seperti yang pernah dia ungkap kepada rekanannya, Fidel Castro: Pikiran saya tak bisa dinegosiasikan.