Muhammad Ali Saudara Orang Jakarta
Muhammad Ali (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Tak ada petinju kelas dunia yang disambut begitu meriah di Ibu Kota Jakarta selain Muhammad Ali. Kedatangan petinju kelas berat dunia pada 1973 ke Indonesia adalah untuk menjalani pertarungan pemanasan dengan petinju Belanda, Rudi Lubbers. Di Indonesia, Ali bertemu para penggemarnya. Di Indonesia, Ali juga menemukan banyak memori indah yang membekas di benak.

Rencana tarung Ali dan Lubbers tak begitu memancing sorotan karena dilakukan di tengah antusiasme dunia pada pertarungan balas dendam Ali dengan musuh bebuyutannya, Joe Frazier. Di tangan Frazier, kemenangan 31 kali berutur-turut Ali kandas pada 1971. Kota New York, Amerika Serikat (AS) jadi saksi tumbangnya Ali.

Bagaimana pun, kedatangan Ali tetap jadi magnet luar biasa di Jakarta. Promotor pertandingan, Raden Sumatri yakin pertarungan Ali-Lubbers adalah bisnis bagus. Sumatri tak main-main menyiapkan duel. Persiapan dilakukan tiga tahun. Awalnya, ia merencanakan duel pada 14 Oktober 1973 di Surabaya, sebelum kemudian dipindahkan ke Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) pada 20 Oktober 1973.

Lapangan bola disulap menjadi arena, dengan ring terpasang di atas rumput. Jalur lari disulap menjadi area penonton yang dapat menampung 19 ribu orang. Tiket yang dijual dengan harga Rp6 ribu sampai Rp27 ribu tak hanya ludes sekejap. Penonton bahkan membludak melebihi ekspektasi.

Muhammad Ali (Twitter/@MuhammadAli)

“Salah satu hal yang paling diingat dari pertandingan ini adalah kapasitas Ali yang mampu menarik perhatian khalayak internasional. 35 ribu orang Indonesia datang untuk menonton, ditambah karisma Ali yang membuat jumlah penonton pada akhirnya meningkat menjadi 45 ribu,” tulis David West dalam buku The Mammoth Book of Muhammad Ali (2012)

Ali berbahagia dengan antusiasme itu. Dukungan masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim menguatkan Ali. Ia dielu-elukan bak pahlawan. Buku West bahkan menyebut Ali sebagai represantasi perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah.

Sebaliknya. Lubbers yang dikenal sebagai petinju kelas berat asal Belanda dipandang sebagai kompeni yang mewakili kongsi dagang Belanda, VOC --meski sesungguhnya tak begitu-- yang menjadi musuh bersama kaum bumiputra selama ratusan tahun, sebagaimana pernah kami bahas dalam Asal-usul Lahirnya Kata 'Kompeni'.

Sebelum pertarungan dengan Lubbers, Ali melakukan perang urat saraf lewat berbagai media dengan berseloroh akan menumbangkan Lubbers pada ronde kelima. Di mata Ali, Lubbers adalah petinju miskin pengalaman Internasional. Lubbers belum mengalami banyak pertarungan dengan nama-nama petinju kelas berat yang sudah memiliki nama.

Untuk pertarungan itu Ali berlatih selama sepuluh hari. Waktu yang singkat membuat Ali tak dalam kondisi terbaik. Namun, kelas membuktikan. Ali begitu unggul. Ia leluasa melancarkan teknik-teknik khasnya, seperti Ali Shuffle dan Rope-a-Dope. Gerakan gesit Ali pun sukses membuat Lubbers kewalahan. Mata Lubbers bengkak. Hidungnya patah.

Meski begitu, Lubbers tak serendah sesumbar Ali. Ali menang angka, bukan knock out (KO), apalagi di ronde kelima, sebagaimana dikatakan Ali. Majalah Ekspres Volume 4 (1973) mengisahkan, pada akhirnya keduanya menyatakan kepuasan secara terbuka karena berhasil memberi hiburan berkelas kepada warga Jakarta.

“Kedua petinju itu berangkat pulang dengan senyum menghias wajah. Mungkin karena dollar yang didambakan telah berada di kantong,” tertulis di laporan itu.

Doa Ali

Selepas pertandingan, Ali telah beberapa kali melakukan kunjungan ke Indonesia, termasuk kunjungan terakhirnya dalam misi kemanusiaan yang memperkuat ikatan antara Ali dan bumiputra. Sebagaimana diungkap Reza Maulana dan Victoria Sidjabat dalam tulisan di Majalah Tempo, Assalamualaikum, Indonesia (2012), bahwa Ali bahkan mengungkap sendiri kerinduannya pada Jakarta.

“Meski hampir 40 tahun berselang sejak saya dan Rudi lubbers bertarung di Jakarta, saya sering memikirkan dan mendoakan saudara saya di Indonesia,” kata Ali.

Selain ikatan emosional, pada dasarnya Ali memang memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Selain misi pengiriman bantuan, Ali juga kerap turun langsung memberi dukungan moril kepada korban bencana di banyak negara. Ali bahkan tercatat beberapa kali membantu upaya pembebasan tawanan. Dalam Perang Teluk I pada 1990, misalnya. Kala itu Ali langsung terbang ke Irak untuk membujuk Presiden Saddam Hussein membebaskan tawanan asal Amerika Serikat (AS).

Persoalan kemanusiaan lain yang selalu disoroti Ali adalah kelaparan. Literasi mencatat setidaknya 232 juta paket makanan telah disebar Ali ke seluruh dunia, termasuk untuk para tunawisma di New York, Afrika, hingga Kuba. Sepak terjang Ali di ranah sosial membawakan banyak apresiasi untuknya.

Tercatat, Ali pernah menjadi Duta Perdamaian PBB pada 1998. Ia juga mendapat Medal of Freedom yang merupakan penghargaan sipil tertinggi di AS. Ali bahkan sempat dinominasikan menjadi penerima Nobel Perdamaian 2007.

"Kalau ada orang yang mau memberikan uang terakhirnya di dompet, dia adalah Muhammad," kata sahabat karibnya, Howard Bingham.

Muhammad Ali (Twitter/@MuhammadAli)

Namun, Indonesia memang istimewa di mata Ali. Di tengah penyakit parkinson yang diderita, Ali tetap menyampaikan doa kepada Indonesia yang kala itu diterpa banyak bencana, mulai dari puting beliung, tanah longsor, hingga banjir.

"Beberapa tahun ini Anda semua menderita akibat bencana alam yang sedemikian kuatnya, sehingga perhatian dunia terfokus ke negeri yang indah itu. Namun Anda semua menunjukkan semangat dan cinta yang lebih besar dari bencana itu. Hal itu membuat saya tenang, sembari terus mendoakan keselamatan Anda semua. Assalamualaikum," kata Ali, dikutip dari tulisan Reza Maulana dan Victoria Sidjabat berjudul Assalamualaikum, Indonesia di Majalah Tempo, 2012.