Bagikan:

JAKARTA - Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Ali Jamil Harahap menyebut direktoratnya rela menggelembungkan anggaran atau mark up salah satu kegiatan hanya untuk membiayai Syahrul Yasin Limpo (SYL) ke Brasil.

Kesaksian itu disampaikan Ali Jamil saat menjadi saksi dalam persidangan kasus dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi untuk terdakwa SYL, Kasdi Subagyono, dan Muhammad Hatta.

Bermula saat Hakim Ketua Rianto Adam Pontoh menanyakan soal iuran pejabat eselon I di Kementan khusunys Dirjen PSP untuk SYL. Ali Jamil mengamininya tapi hanya setiap momen tertentu.

"Tadi kami menyampaikan per momen," ujar Ali Jamil dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 13 Mei.

Hakim kemudian mempertanyakan kunjungan kerja SYL tersebut termasuk salah satu momen adanya iuran di Ditjen PSP.

Ali Jamil mengaminya dan menjelaskan bahwa Ditjen PSP Kementan RI diminta untuk iuran Rp600 juta agar SYL bisa berangkat ke Brasil. Tapi tak diingat betul kapan iuran tersebut diminta.

"Ke Brasil kami dari Ditjen PSP diminta sharing Rp600 juta," kata Ali Jamil.

"Waktu kunjungan ke luar negeri, SYL minta ke saudara Rp600 juta. Itu siapa yang datang dan minta ke saudara? Apakah melalui sekretaris saudara? Siapa orangnya?," tanya hakim

"Seperti kami sampaikan tadi kami dapat infor sharing itu dari Pak Sekjen terus kami sampaikan ke Sesditjen 'Ada info seperti ini Pak Ses, tolong dimonitor'," kata Ali.

"Kami dilaporkan oleh Sesdit sebagai KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) itu sesuai dengan BAP kami itu dari sisa kegiatan," sambung Ali.

Lantas, Ali menjelaskan uang iuran untuk SYL pun akhirnya menggunakan anggaran berdasar pada sebuah acara. Jika semisal ada sebuah acara di hotel, maka uang sisa anggarannya akan diperuntukkan SYL berangkat ke Brasil.

"Yang disebut waktu itu contoh misalnya ada kegiatan rapat di hotel. Waktu itu ada sisa anggaran, itu yang dilaporkan sesdit kamu waktu itu," ucap Ali.

"Misalnya rapat 5 hari, dimarkup jadi 7 atau 8 hari? seperti itu kah?" tanya Hakim Rianto.

"Mohon izin, kami tidak tahu teknisnya karena ranahnya sesdit sebagai KPA. Kami hanya dilaporkan," jawab Ali.

 

Mendengar keterangan itu, Hakim Rianto mencecar Ali soal sumber uang agar bisa tercapai Rp600 juta. Sebab, anggaran pelaksanaan kegaiatan diperkirakan tak mencapai nominal tersebut.

Ali hanya menjelaskan ada anggaran juga yang didapatkan dari perjalanan dinas. Lagi-lagi, Ali hanya tahu sebatas itu, tak merincinya.

"Kekurangan itu dari mana bisa terkumpul sebanyak itu Rp600 juta? dari kegiatan apa saja? Apakah SPJ juga masuk?" tanya Hakim Rianto.

"Awalnya kami tidak dilaporkan seperti itu. DI awal hanya dilaporkan seperti tadi. Kemudian ada juga dilaporkan ada juga dari perjalan dinas," ujar Ali.

"Apa benar benar ada perjalanan dinas? atau fiktif?," tanya hakim

"Itu mereka yang tahu teknisnya," ungkap Ali.

"Saudara secara tidak langsung menyetujui. Okelah tutup mata tahu sama tahu akhirnya terkumpul Rp600 juta kan?," cecar hakim.

"Siap Yang Mulia, iya," kata Ali.

"Ini Rp600 juta ngga mungkin dari kantong anda sendiri, pasti dari anggaran," kata hakim.

"Rp600 juta terkumpul kemudian siapa yang ngambil uang ini?," lanjutnya.

"Kami tidak mengetahui Pak Ketua," jawab Ali.

Syahrul Yasin Limpo diduga memeras pegawainya hingga Rp44,5 miliar selama periode 2020-2023 bersama Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Kementan Muhammad Hatta.

Uang ini kemudian digunakan untuk kepentingan istri dan keluarga Syahrul, kado undangan, Partai NasDem, acara keagamaan, charter pesawat hingga umrah dan berkurban. Selain itu, ia juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp40,6 M sejak Januari 2020 hingga Oktober 2023.