JAKARTA - Citra polisi era pemerintah kolonial Belanda adalah seburuk-buruknya penegak hukum. Gaji kecil jadi sebab polisi menghalalkan segala cara untuk menambah penghasilan. Mereka sering mencomot hasil rampokan, penyogokan, dan kejahatan lainnya.
Sederet masalah itu buat kepercayaan rakyat ke polisi jatuh pada level terendah. Mereka tak percaya polisi. Namun, Belanda mulai bersiasat. Heroisme “Si Penakluk Pitung” Schout A.W.V. Hinne digunakan bak alat pencitraan polisi di Hindia-Belanda.
Peran polisi sebagai penjaga ketertiban di tanah Hindia-Belanda terbatas. Polisi hanya hadir di kota-kota besar, seperti Batavia, Surabaya, Semarang, atau Cirebon. Jelas, polisi ada untuk menjaga penguasa kala itu: orang-orang dan pejabat Belanda.
Sementara, penjagaan di luar pemukiman Eropa biasanya diserahkan kepada aparat kampung. Sifatnya pun sukarela. Kondisi itu membuat penegakan hukum di Hindia-Belanda menjadi samar-samar, alias tidak efektif.
Boleh jadi polisi adalah aspek penting penegakan hukum di Hindia-Belanda. Tapi menjadi seorang polisi (lazim disebut Schout zaman belanda) bukan pekerjaan yang menjanjikan. Orang Eropa hampir tiada yang bermimpi jadi polisi.
Pun pekerjaan sebagai penegak hukum berupah kecil. Hal itu memunculkan ragam masalah. Posisi polisi lalu kaum bumiputra, salah satunya. Kebanyakan di antaranya tak dibekali ilmu memadai. Tak disebut tak kompeten.
“Sudah menjadi pengetahuan awam bahwa polisi pribumi malas, lamban, dan korup, lebih jauh lagi kurang ajar dan sombong terhadap orang-orang yang setara atau lebih rendah derajatnya, serta tunduk dan menghamba kepada mereka yang karena jabatan sebelumnya atau posisi sosial sebelumnya, bahkan meskipun tahanan, dipandang sebagai majikan oleh para penjaga; hal yang menjelaskan mengapa para penjaga itu seringkali tidak mau bertindak jika para tahanan seperti itu kabur dalam perjalanan,” ungkap Kees Van Dijk dalam buku Hindia-Belanda dan Perang Dunia I 1914-1918 (2013).
Urusan gaji jadi vital. Upah kecil kemudian mendorong para polisi melakukan segala cara demi mendapatkan keuntungan. Benar atau salah seseorang tak selalu menjadi soal. Mereka melanggengkan praktik tak terpuji, dari mencomot hasil rampokan hingga menerima suap.
Pemerintah kolonial memahami peran polisi yang tak efektif. Tapi, seperti yang sudah-sudah. Pemerintah mengabaikannya. Asalkan para pemukim Eropa hidup dengan aman dan nyaman. Sedang kaum bumiputra harus menerima imbasnya.
Kondisi polisi yang demikian jadi jalan rakyat tak memercayai polisi. Bagi mereka percuma lapor polisi. Sebab, polisi tidak dapat dipercaya. Mudah disuap pula. Mentalitas polisi hanya diarahkan pada setia kepada penguasa.
Kepada tuan-tuan Belanda, yang notabene memiliki jabatan tinggi seperti kepala residen. “Seorang pegawai Belanda adalah kepala provinsi, yang disebut secara berbeda dengan gubernur, residen, atau asisten-residen. Menurut kepentingan lokalitas kepemimpinannya, namun otoritasnya adalah sama.”
“Yakni sesuai dengan nama masing-masing yang sesuai wilayahnya dengan nama gubernuran, keresidenan atau asisten keresidenan. Pegawai-pegawai itu mewakili pemerintah yang berkuasa, sejauh sesuai dengan kekuasaan kerajaan dalam yuridiksi, administrasi sipil, dan keuangan tertunggi, serta kontrol polisi,” ujar J. Stroomberg dalam buku Hindia-Belanda 1930 (2018).
Pencitraan polisi lewat Komisaris Hinne
Citra buruk polisi zaman Hindia-Belanda menyebar ke seantero negeri. Pemerintah kolonial Belanda tak diam. Mereka mulai bersiasat membungkus citra kepolisian. Heroisme sosok Schout A.W.V. Hinne mulai ditonjolkan. Hinne dielu-elukan sebagai teladan polisi di Hindia-Belanda.
Semua itu karena peran Hinne yang mampu menjinakkan para bandit di Batavia. Sosok legendaris Si Pitung salah satunya pada 1893. Kemampuannya menghentikan aksi kejahatan Si Pitung yang licin membuat Hinne dipuja-puja sebagai polisi cerdik.
Lantaran itu sosok Hinne selalu membayangi kesohornya kisah perjalanan Si Pitung “Robin Hood dari Betawi.”
“Mengingat saat itu Jakarta belum dipimpin gubernur dari kalangan pribumi seperti sekarang, berhadapanlah si Pitung dengan kompeni Belanda. Dari sudut pandang pemerintah Hindia-Belanda, ia diberi label sebagai pengacau yang harus segera diberantas.”
“Sebagai musuhnya (pahlawan bagi Belanda) diutuslah Schout van Hinne, opsir polisi yang karirnya gemilang setelah berhasil menembak si Pitung. Sebelum ditembak, Pitung bersama teman-temannya sempat tertangkap dan dijebloskan di penjara Meester Cornelis. la berhasil lolos. Lolosnya si Pitung itu dipercaya sebagai bukti kekuatan magisnya,” tulis Andre Syahreza dalam buku The Innocent Rebel: Sisi Aneh Orang Jakarta (2006).
Kepopuleran Hinne sebagai penakluk Pitung menyebar ke dalam tradisi lisan rakyat Batavia. Sejarawan Belanda, Margreet van Till menganggap Sosok Hinne kala itu mulai diperlakukan layaknya antitesis kepolisian Hindia-Belanda. Ia dianggap sebagai pejabat polisi yang jujur.
Padahal, kondisi kepolisian di masanya terkenal bobrok. Korup pula. Pemerintah kolonial Belanda pun mulai mengendus keuntungan dari imej mentereng Hinne yang mulai sukar dibuktikan antara fiksi maupun fakta. Profil tentang Hinne mulai diizinkan muncul dalam ragam bentuk.
Beberapa di antaranya Hinne menjadi news maker di Batavia. Segala gerak-geriknya mengungkap kejahatan selalu memancing kekaguman.
“Penciptaan sosok fiktif Hinne mencapai puncaknya antara 1930 dan 1940. Orang Eropa, yang dikonfrontasikan dengan masyarakat pribumi, terutama hanya melihat kekacauan dalam cerita itu. Hal tersebut hanya bisa menyeruak dari orang dalam. Konfrontasi tidak hanya berlaku bagi penduduk Eropa di koloni, tetapi juga bagi pemegang kekuasaan di Batavia,” tulis Margreet Van Till dalam buku Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api (2018).
Hinne pun berkali-kali disebut dalam laporan kejadian tindak kejahatan. Heroismenya mula masuk dapur cerita pada buku-buku yang terbit di Hindia-Belanda. Petualangannya menangkap penjahat begitu digemari oleh segenap penduduk Batavia.
Bahkan, Hinne sampai dijuluki sebagai: De Indische Sherlock Holmes. Ia digambarkan sebagai detektif cerdas yang pemberani dan adil. Kisah kesuksesannya mulai dikisahkan kembali secara turun-temurun.
“Pada suatu hari yang mendung, sehabis hujan lebat dan Kali Koneng sedang banjir, ibu mendengar rakyat ramai-ramai bercerita bahwa Pitung baru saja gugur oleh peluru Van Hinne di suatu tempat di daerah Koneng. Ia melakukan perlawanan ketika dikepung Van Hinne dan anak buahnya. Dalam tembak menembak yang kemudian terjadi, ia tewas,” tutur Tanu Trh yang menceritakan kisah perseteruan Si Pitung dan Hinne telah turun-temurun di kisahkan keluarganya dalam buku Ketoprak Betawi (2001).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.