Bagikan:

JAKARTA - Sejak dulu Jakarta adalah kota multi-etnis. Ragam suku bangsa telah hadir di Jakarta sejak dulu kala. Termasuk bangsa Yahudi. Sekalipun jumlahnya tak sebanyak orang Eropa, Yahudi jadi bagian penting penggerak roda perekonomian. Batavia juga kebagian migrasi Yahudi. Namun di Jantung Hindia-Belanda para Yahudi membaur.

Mereka andal dalam segala bidang, baik sebagai serdadu, pedagang, hingga pegawai pemerintah. Orang Yahudi hidup dalam kemakmuran. Mereka melebur dengan baik. Bahkan ketimbang bahasa Ibrani, mereka lebih fasih berbahasa Belanda dan Melayu sehari-hari.

Kedatangan orang-orang Yahudi ke Nusantara erat kaitannya dengan penaklukkan Jayakarta –yang belakangan diubah menjadi Batavia-- oleh kongsi dagang Belanda, VOC pada 1619. Sang penakluk Jayakarta, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen mendorong migrasi besar-besar orang Eropa dan lainnya untuk menetap di Batavia.

Bersamaan dengan itu, bangsa Yahudi, China, Moor, Jepang, dan kaum bumiputra (Melayu, Bali, Bugis, Ambon) menjadi unsur penting penduduk Batavia. Kala itu penduduk Yahudi tak hanya berada di Kota Batavia. Mereka juga ada di Ommelanden, daerah luar Batavia.

Beberapa di antara mereka tinggal di Noorwijk (Jalan Juanda) dan Rijswijk (Jalan Veteran). Mereka banyak berprofesi sebagai pedagang dengan membuka toko besar dan hotel-hotel di kawasan tersebut. Mereka menjual arloji, emas, intan, permata, arloji, kacamata dan komoditas lainnya.

Penjelajahan Jacob Saphir

Ilustrasi foto Yahudi ortodoks (Sumber: Commons Wikimedia)

Ketangguhan para Yahudi sebagai pedagang kala itu dapat dilihat dari kesuksesan keluarga Oleslaeger, Goldenberg, dan Ezekiel. Gambaran lebih jelas terkait orang Yahudi di Batavia juga diungkap oleh penulis Jacob Saphir (1822-1886).

Jacob Saphir menjelajahi kota berjuluk Ratu dari Timur hampir tujuh pekan pada 1861. Penulis Yahudi itu menyebut ada 20 keluarga Yahudi asal Jerman (Hannover dan Frankfurt) dan Belanda (Amsterdam dan Den Haag) yang bermukim di Jantung Hindia-Belanda, Batavia. Klasifikasi pekerjaan mereka sebagai saudagar, serdadu, hingga pensiunan.

“Kepiawaian Saphir dalam menggali informasi dimulai pertama kali dengan mendatangi seorang tetua Yahudi yang pastilah menyimpan banyak informasi tentang saudara sebangsa di Batavia. William Hachgezunt, yang tiba di Batavia pada masa Revolusi, adalah tetua itu. Tiba pertama kali di Batavia sebagai serdadu Belanda, berdagang adalah profesi yang digelutinya selepas dari Dinas Militer,” cerita Saphir, dikutip Romi Zarman dalam buku Di Bawah Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia-Belanda 1961-1942 (2018).

Ilustrasi foto Yahudi sebagai pedagang (Sumber: Commons Wikimedia)

“Boleh jadi tanah Hindia lebih menjanjikan secara ekonomis telah mendorongnya untuk lebih memilih menetap permanen ketimbang kembali ke Eropa. Dunia dagang di bawah Bendera Tiga Warna (baca: bendera Belanda) menuntut integritas penuh dari orang-orang yang menggelutinya,” tambahnya.

Akan tetapi, kesuksesan dan kemakmuran yang didapat Hachgezunt harus dibayar mahal karena identitas keyahudiannya pudar seiring waktu. Kehidupan nyaman di Batavia menghilangkan epistome (intisari) tentang keyahudian yang diperolehnya semasa muda.

Salah satu penyebabnya adalah asimilasi budaya lewat perkawinan. Jacob Saphir mencatat angka orang Yahudi yang menikah dengan wanita bumiputra cukup tinggi. Tak disangka, pernikahan jadi medium pertukaran budaya yang masif. Yang mana, anak-anak yang dihasilkan lewat pernikahan lazimnya mengikuti budaya dan gaya hidup ibunya.

Yahudi kesohor di Batavia

Boleh jadi pengembaraan Jacob Saphir begitu memberi gambaran luas tentang Yahudi kaya raya di tanah Betawi. Akan tetapi, jauh sebelum kedatangan Jacob Saphir telah ada serdadu keturunan Yahudi bernama Jahoede Leip Jegiel Igel.

Ia dikenal sebagai orang Yahudi terkaya di Batavia. Namun, sebelum kaya raya, serdadu kelahiran 22 April 1755 hanya berstatus serdadu rendahan yang miskin. Tugas hariannya menjaga rumah milik Gubernur Jenderal VOC, Reinier de Klerk (1777-1780).

Suatu ketika ia tertidur saat menjaga rumah. Serdadu itu kemudian dihukum cambuk. Dalam hatinya ia bersumpah suatu saat akan membeli rumah Sang Gubernur Jenderal. Mimpi itu sebagai bentuk pembalasan karena ditertawakan oleh serdadu lainnya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ia keluar dari kedinasan sebagai serdadu. Ia memulih jalan hidup baru sebagai seorang pandai emas merangkap rentenir. Ia juga mengubah namanya dan secara paripurna dikenal sebagai Leendert Miero.

Sekalipun Leendert Miero buta huruf, ketekunan dalam berbisnis jadi bekal utamanya menjadi orang kaya. Ia tak saja membeli rumah Reiner de Klerk --kini Gedung Arsip Nasional-- tapi juga membeli rumah mewah di daerah Pondok Gede.

Kiprahnya sebagai rentenir membuat orang Belanda menggeneralisir semua orang Yahudi dengan istilah "Judes." Istilah itu diambil dari Bahasa Betawi yang berarti seseorang yang culas, licik, curang, dengki, dan Jahat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Judes diartikan sebagai sifat cepat marah dan suka membentak-bentak atau menyakiti hati orang; ketus; tajam mulut.

“Sebetulnya, Judes, dari (kata) Judas nama seorang murid Nabi Isa yang berkhianat —yang diperkatakan oleh orang Belanda untuk menggeneralisir semua Yahudi. Terutama, mereka yang menjadi rentenir,” tulis Alif Danya Munsyi dalam buku 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing (2003).

Selain Leendert Miero, ada pula orang Yahudi lain yang terkenal prestasinya. Ia adalah Mr. G.J. Biscchop. Wali Kota pertama yang memimpin Batavia dari tahun 1916 sampai 1920 memiliki banyak prestasi.

Ia bahkan telah banyak mempelopori pembangunan, terutama sarana pelayanan bagi masyarakat Kota Batavia, termasuk jadi penggerak dalam pembangunan instalasi air leding dari Ciomas-Bogor ke Batavia (1918-1920).

“Dia juga mempelopori pemberantasan nyamuk Malaria (Malaria Bestrijding) dengan mengeringkan dan menimbun beberapa rawa dan empang milik penduduk sekitar Batavia, khususnya Batavia bagian utara, seperti di Tanjung Priok, Angke, Kemayoran, Jembatan merah, Pademangan, dan sunter pada 1919,” tambah Zeffri Alkatiri dalam buku Jakarta Punya Cara (2012).

Atas usahanya itu Batavia jadi lebih dinamis, manusiawi, dan berkembang. Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya, pemerintah Kolonial sampai menamakan sebuah taman dengan namanya: Burgemeester Bisschopplein yang kini Taman Suropati. Suksesnya Mr. Biscchop membukakan jalan bagi keturunan Yahudi lain untuk masuk dan sukses berkarier di dalam pemerintahan Hindia-Belanda.

“Di antara mereka ada yang mendapat posisi tinggi di pemerintahan Hindia Belanda. Seperti Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, gubernur jenderal Hindia Belanda terakhir yang menyerah ketika Jepang menyerbu Indonesia,” tutup Alwi Shahab dalam buku Betawi: Queen of East (2002).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

MEMORI Lainnya