Bagikan:

JAKARTA - Pendudukan secara paksa –sering kali dengan kekerasan— yang Israel lakukan terhadap Palestina kerap kali mendorong gerakan solidaritas. Salah satunya BDS (boycott, divestment, and sanctions). Gerakan ini menunjukkan solidaritas terhadap Palestina bukan monopoli umat Islam semata.

Pada prinsipnya, gerakan BDS adalah cara untuk menekan Israel agar mengakhiri diskriminasi, kolonialialisasi, dan kekerasan yang berlangsung sejak 1967 di “Tanah Perjanjian.” Gerakan BDS berawal dari inisiasi rakyat Palestina sendiri.

Diinisiasi tahun 2005, gerakan ini berawal dari 170 kelompok masyarakat di Palestina yang resah karena pendudukan Israel. Kelompok masyarakat itu terdiri dari partai politik, serikat buruh, jaringan pengungsi, organisasi nirlaba, serta berbagai organisasi kemanusiaan.

“Gerakan ini (BDS) mengampanyekan boikot terhadap produk-produk Israel. Para aktivis BDS di berbagai negara melakukan aksi agar supermarket, institusi negara, dan organisasi masyarakat tidak menjalin hubungan ekonomi dengan Israel dalam bentuk apa pun, termasuk menjual barang-barang yang diproduksi Israel dari wilayah Israel sendiri, maupun dari wilayah-wilayah Palestina yang berada di bawah penjajahan Israel,” ungkap Magdalena Krisnawati dalam buku A Note from Tehran (2013).

Aksi boikot itu pada hakikatnya adalah aksi damai dan tanpa pertumpahan darah. Pembentukan gerakan BDS terinspirasi dari gerakan serupa di Afrika Selatan: gerakan anti-apartheid.

Semangatnya sama, yakni berfokus pada perjuangan mengakhiri diskriminasi dan tindakan rasis kepada orang kulit hitam di Afrika Selatan. Karenanya, gerakan BDS memiliki tiga tuntutan utama.

Polisi Israel merepresi penduduk Palestina (Sumber: Commons Wikimedia)

Pertama, mengakhiri pendudukan Israel. Kedua, mengakhiri apartheid. Ketiga, menuntuk hak pengungsi untuk kembali. Orang-orang yang tergabung dalam gerakan BDS juga mengajak masyarakat luas menuntut berakhirnya penindasan Israel kepada Palestina.

Ini yang sering ditanyakan banyak orang. Apakah aksi boikot itu berdampak? Jawabannya, ya. Melansir Aljazeera, gerakan BDS menyebabkan ekonomi Israel merugi hingga miliaran dolar per tahun.

Seiring waktu, dukungan kepada gerakan BDS makin meluas. Dukungan untuk BDS datang dari federasi serikat pekerja internasional, seperti Afrika Selatan, Inggris, Irlandia, India, Brasil, Norwegia, Kanada, Italia, Prancis, Belgia, dan Turki.

Gerakan itu makin bertumbuh karena BDS tak saja membawa gaung perubahan bagi berakhirnya konflik Israel-Palestina. Gerakan BDS juga menjadi secerah harapan bagi banyak negara di dunia yang masih berjuang melawan ketidakadilan sosial dan perang berkepanjangan.

Makin besar lagi gerakan ini terjadi pada Agustus 2002. Kala itu sekelompok organisasi Palestina yang berada di wilayah pendudukan menyuarakan untuk melakukan boikot secara menyeluruh segala hal terkait Israel, baik itu ekonomi, budaya, serta secara akademik.

Dalam konteks itu, gerakan BDS dapat memenangi hati dan pikiran seluruh dunia yang tak menghendaki kehadiran tirani penindasan sebuah negara di abad ke-21.

Dampak gerakan BDS

Setiap tahun, aksi dalam gerakan DBS meningkat. Hal itu dapat dilihat dari gelaran Pekan Apartheid Israel yang digelar tiap tahun. Istilah Apartheid sendiri mengacu pada kemiripan antara perbuatan rezim Zionis Israel kepada rakyat Palestina, dengan kebijakan diskriminasi ras kulit putih kepada kulit hitam di Afrika Selatan.

Imbasnya, kampanye boikot Israel makin meluas. Apalagi, pemerintah Israel kala itu telah mengumumkan rencana membangun 1.400 rumah baru di Tepi Barat. Enam ratus rumah dibangun di Ramat Shlomo dan delapan ratus rumah di wilayah Tepi Barat Lainnya.

Sejumlah perusahaan Eropa turut memboikot kerja sama dengan perusahaan Israel. Perusahaan asal Belanda, PGGM misalnya. PGGM, yang merupakan perusahaan dana pensiun terbesar Belanda telah menarik investasi dari lima bank besar Israel pada 2014.

Kelima bank Israel yang dimaksud adalah Hapoalim, Leumi, First International Bank of Israel, Israel Discount Bank, dan Mizrahi Tefahot Bank. Langkah itu diambil PGGM mengikuti langkah perusahaan air Belanda, VIten yang lebih dulu mengakhiri kerja sama dengan perusahaan asal Israel.

Kantor First International Bank of Israel di Tel Aviv (Sumber: Commons Wikimedia)

“Tak hanya perusahaan, bahkan sejumlah serikat akademikus Amerika Serikat yang tergabung dalam American Studies Association memboikot lembaga pendidikan Israel. Melalui pemungutan suara, 66 persen dari 1.252 anggota yang memberi suara menyatakan mendukung resolusi pemboikotan berupa larangan berkolaborasi formal dengan lembaga akademis Israel,” tulis Rosalina dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Tarian Tango Bibi (2014).

Uni Eropa tak ketinggalan. Pasar terbesar kedua ekspor Israel --sebesar 32 persen-- ini resmi memulai aksi boikot sejak awal 2014. Langkah itu diikuti oleh sejumlah instansi pajak dan bea-cukai di negara Uni Eropa.

Buahnya, segenap instansi itu telah memasang label “produk permukiman Yahudi” agar konsumen dapat mengatahui secara gamblang mana produk dari perusahaan Israel. Pada tahun itu juga Menteri Keuangan Israel Yaer Labed, mengatakan akibat boikot, kerugian negara dalam setahun mencapai 8 miliar dolar atau setara Rp114 triliun.

Perdana Mentri Israel Benjamin Netanyahu (Sumber: Commons Wikimedia)

Kerugian itu juga diikuti pemecatan 10 ribu pekerja di berbagai bidang usaha milik perusahaan Israel. Kepanikan itu sampai memaksa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mendorong negara-negera pendudung Israel untuk membuat undang-undang anti-boikot.

Israel bahkan mengeluarkan biaya besar untuk melawan kampanye anti-boikot. Lewat langkah itu, Israel percaya diri dapat keluar dari situasi sukar tersebut. Netanyahu mengungkap dunia saat ini justru semakin tergantung dengan produk-produk asal Israel, terutama di bidang teknologi.

"Mereka (perusahaan teknologi) datang karena menginginkan manfaat dari keandalan dan inovasi Israel. Gerakan BDS tidak dapat menghentikan Israel menjadi kekuatan teknologi global," kata Netanyahu.

*Baca Informasi lain soal ISRAEL-PALESTINA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya