JAKARTA - Hendri Alfred Bakari tewas dengan tubuh terbungkus plastik. Di sekujur badan Hendri nampak sejumlah luka memar. Dua hari sebelum kematian, Hendri dijemput polisi dari Polres Barelang, Batam. Banyak pihak menduga Hendri tewas dianiaya polisi. Korps Bhayangkara lagi-lagi menunjukkan wajah mereka yang tak bersahabat.
Kamis, 6 Agustus lalu Hendri ditangkap dengan tuduhan kepemilikan narkoba. Namun, ada yang janggal. Keluarga mengatakan polisi tak mampu menunjukkan surat penahanan. Dua hari setelah penjemputan itu barulah keluarga diizinkan menjenguk Hendri.
Sayang, kabar yang didapati justru Hendri sudah meninggal. Keluarga pun beranjak ke Rumah Sakit Budi Kemuliaan, tempat jasad Hendri disemayamkan. Polres Barelang belum berkomentar. "Saya tidak mau berpolemik dulu. Kami serahkan ke dokter ahli yang bisa simpulkan," kata Kapolres, Komisaris Besar Purwadi Wahyu Anggoro dalam keterangan tertulis, Selasa, 11 Agustus.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menanggapi keras kasus ini. Organisasi ini bahkan mendorong penyelesaian kasus Hendri dengan mekanisme National Preventive Mechanism. Mekanisme ini akan melibatkan lima lembaga, mulai dari Komnas HAM, Ombudsman, LPSK, KPAI, serta Komnas Perempuan.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus A. T. Napitupulu bahkan menolak jika kasus kematian Hendri ditangani Divisi Propam Polri. Nantinya, hasil penelusuran lima lembaga itu akan dijadikan dasar untuk melakukan penyidikan kasus dugaan kekerasan terhadap Hendri. “Mekanisme ini harus dapat diterapkan untuk mengusut tuntas fakta dibalik terjadinya dugaan penyiksaan oleh oknum aparat kepolisian tersebut,” katanya.
Kritik polisi
Kasus Hendri kembali memancing kritik luas bagi polisi. Wajah buruk polisi muncul ke permukaan, memenuhi linimasa media sosial. Komedian, Tretan Muslim bahkan berkelakar tentang bagaimana seorang dukun lebih andal dari polisi.
“Kosan saya pernah di bobol maling dan laptop ilang. Lapor polisi cuma dibikinin surat laporan (saya pikir akan ada polisi yang ke kos). Setelah itu saya ke dukun dan diberi petunjuk yang lebih lengkap. Meskipun akhirnya laptop ga balik saya lebih lega ke dukun. Modal rokok Dji Sam Soe,” tulis Muslim.
Kosan saya pernah di bobol maling dan laptop ilang, lapor polisi cm dibikinin surat laporan (saya pikir akan ada polisi yang ke kos). Setelah itu saya ke dukun dan di beri petunjuk yang lebih lengkap. Meskipun akhirnya laptop g balik saya lbh lega ke dukun modal rokok Dji Sam Soe https://t.co/1ZBuzJKR7n
— Murid Chef Arnold (@TretanMuslim) August 11, 2020
Lainnya, pemilik akun @nonamaya222 juga mengisahkan kekecewaannya pada polisi. “Pengalaman gua lapor kejahatan sama polisi mah cukup sekali. Pas kos-kosan gua kerampokan. Mau diusut, 'wani piro' katanya. Anak kos, habis kerampokan, ditanya begitu kayak udah jatuh ketimpa tangga. Kayak udah dirampok, terus dipalak.”
Wajah polisi sejak dulu
Menelusuri "polisi" sebagai sejarah etimologi. Bandung Mawardi, dalam tulisan berjudul Polisi di Majalah Tempo (2015) menjelaskan, kata "polisi" telah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka. Kitab lawas Arti Logat Melajoe yang disusun D. Iken dan E. Harahap yang muncul seabad silam bahkan memuat istilah polisi yang diartikan sebagai mata-mata, merinjoe, dan opas.
Penelusuran lain mendapati kata polisi yang diambil dari bahasa Belanda: politie. Seiring waktu, kaum bumiputra melafalkan itu menjadi "polisi". Di zaman Hindia-Belanda itu, polisi memiliki tugas utama sebagai penjaga ketertiban dan keamanan. Sejumlah literasi menunjuk tahun 1897 sebagai awal pembentukan polisi.
Semangat pembentukan polisi didasari oleh ketakutan dan kepedulian orang-orang Belanda. Buku Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan (2011) karya Marieke Bloembergen menjelaskan bagaimana bangsa Belanda mulai khawatir dengan perubahan cepat masyarakat kolonial akibat pergerakan atau kebangkitan nasional.
Polisi dibentuk untuk meredam letupan-letupan yang berpotensi memancing perlawanan terhadap kompeni yang mulai menetap di tanah koloni, Indonesia sejak 1870. Politik etis tahun 1900-an mendorong kompeni mewujudkan gagasan bahwa keamanan adalah bagian penting dari penyelenggaraan negara. Bentuk kepedulian yang dimaksud Bloembergen.
Meski berperan menjaga ketenteraman dengan tugas utama mencari pelaku kejahatan dan pelanggar hukum, peran polisi zaman Hindia-Belanda tidak seluas hari ini. Dahulu kala polisi masih disebut schout, polisi merupakan “kaki tangan” asisten residen. Mereka akan berpakaian lengkap dalam parade di sekitar residen.
“Pagi buta mereka dengan berseragam harus membentuk garda kehormatan di depan rumahnya. Pada sejumlah perayaan dan kesempatan resmi orang Eropa, schout juga hadir dan baru pulang jika pejabat-pejabat tinggi sudah meninggalkan tempat,” ujar Margreet van Till dalam buku Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api (2018).
Ruang gerak schout dibatasi. Penyebaran mereka hanya ada di kota-kota besar Hindia-Belanda. Jelas, polisi ada untuk menjaga penguasa kala itu: orang-orang dan pejabat Belanda. Sementara, penjagaan di luar pemukiman Eropa biasanya diserahkan kepada aparat kampung. Sifatnya pun sukarela.
Dalam situasi itu, para schout terhimpit. Pergerakan terbatas dan gaji kecil mendorong mereka mencari celah-celah pendapatan lain, yang sayangnya seringkali ilegal. Yang paling umum, para schout akan mencomot harta sitaan dari kasus perampokan, penyogokan, atau korupsi.
“Pemerintah kolonial memang cenderung mencari fungsionaris kepolisian yang menunaikan kewajiban dan bisa bersosialisasi dengan baik. Tetapi terbentur situasi keuangan saat itu. Rendahnya gaji terbukti menarik peminat yang tidak kompeten,” tambah Margreet.
Bentuk kritikan paling tajam terkait hubungan antara pemerintah, kepolisian, dan korupsi keluar dari mulut Kepala Komisaris Kepolisian Hindia Belanda C.J. Boon. Pada 1915, Boon diangkat dan diembankan perintah penting memerangi korupsi di dalam salah satu sistem jabatan schout. Boon menulis: Batavia (pusat pemerintahan) kota terkorup di seluruh Hindia. Tidak hanya mencakup kepolisian saja, tetapi di bidang lain dan juga di kota-kota paling terbelakang.
Kritikan Boon berdasar. Namun, dilema polisi tak terselesaikan. Lembaga kepolisian di negara kolonial yang beranggotakan 96 persen pribumi telah dibebani pekerjaan paling kotor dan berat dengan imbalan yang tak sepadan.
Merujuk pada gambaran ideal kerja kepolisian modern, kepolisian zaman kompeni tak hanya ditugasi memperluas pengawasan keamanan dalam negeri, tapi juga mempertahankan kekuasaan. Marco Kartodikromo bahkan menulis sebuah puisi berjudul Penoentoen yang dimuat di surat kabar Sinar Hindia edisi 26 Juni 1918.
Dalam puisi itu, polisi yang kebanyakan beranggotakan kaum bumiputra diajak bergerak karena mereka dapat menjadi tokoh penting dalam kesuksesan atau kegagalan misi kaum pergerakan kebangsaan. Andai semua polisi kotor musnah di zaman Belanda.
Politie tentoe memboeka mata,
Kepada penoentoen jang membela
Bangsa kita jang dibikin soesa
Oleh orang bangsanja raksasa
Beranikah kamoe mendjalani?
Mendjadi penoentoen jang sedjati?
Jang tida takoet pada justicie?
Dan tidak mengkritik masoek boei?