JAKARTA – Mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte ditangkap pada Selasa (11/3/2025) atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan surat perintah dari Mahkamah Kriminal Internasional (ICC)
Duterte sendiri ditangkap di Bandara Manila tak lama setelah kedatangannya dari Hong Kong. Ia sempat menolak meminta maaf atas tindakan antinarkoba yang brutal saat masih menjabat sebagai Presiden Filipina pada periode 2016 sampai 2022.
Kendati demikian, beberapa jam setelahnya Duterte diketahui sudah berada di pesawat jet sewaan menuju Den Haag di Belanda, tempat ICC bersidang.
Penangkapan Duterte tentu menjadi sorotan dunia. Di satu sisi penangkapan ini dinilai sebagai kemenangan penting bagi ICC, badan peradilan independen yang menyelidiki dan mengadili orang-orang yang dituduh melakukan genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi dari markasnya yang berlokasi di Den Hag.

Tapi di sisi lain penangkapan Duterte juga menujukkan batas-batas kekuasaan pengadilan. Meski yuridiksinya luas, pengadilan tidak dapat melakukan penangkapan sendiri. Pengadilan bergantung pada kerja sama pemerintah nasional untuk melaksanakan surat perintahnya, yang membuatnya bergantung pada politik dalam negeri.
Posisi Politik yang Lemah
Penyelidikan ICC terhadap Duterte berkutat pada dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait pembunuhan orang-orang dalam perang melawan narkoba yang dilakukannya saat menjadi Wali Kota Davao City dan kemudian Presiden Filipina.
Rodrigo Duterte, 77 tahun, memimpin Filipina pada Juni 2016. Dalam kampanyenya, ia berjanji akan secara keras memberantas narkoba dan berbagai bentuk kejahatan. Namun kebijakannya perang melawan narkoba menyebabkan tersangka pecandu dan pengedar narkoba meninggal dalam operasi polisi yang kontroversial.
Menurut sejumlah sumber, jumlah resmi tersangka pengedar dan pengguna narkoba yang terbunuh selama Juli 2016 dan April 2022 adalah 6.248 orang. Tapi kelompok Has Asasi Manusia (HAM) meyakini jumlah sebenarnya bisa mencapai 30.000 orang.
Tapi ICC sendiri sebenarnya mendapat sorotan dunia saat ini. Kasus penangkapan Duterte terjadi ketika ICC sedang dikenai sanksi oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Trump tidak senang dengan keputusan pengadilan yang mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang dituding melakukan kesajahatan selama perang Gaza.

Aktivis Filipina memegang lilin selama aksi protes yang mendukung penangkapan mantan Presiden Rodrigo Duterte oleh Mahkamah Kriminal Internasional, di Kota Quezon, Metro Manila, Filipina, pada hari Selasa (11/3/2025). (Istimewa)
Selain Netanyahu, ICC juga mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Presiden Rusia Vladimir Putin.
Kepala Jaksa ICC Karim Khan mengatakan fakta bahwa surat perintah penangkapan telah dilaksanakan "penting bagi para korban" dan bukti bahwa "hukum internasional tidak selemah yang mungkin dipikirkan sebagian orang.
Penangkapan Rodrigo Duterte dimungkinkan karena ia tak lagi menjabat dan secara politik dinilai lemah. Sebaliknya, tidak ada kemungkinan surat perintah penangkapan ICC untuk PM Benjamin Netanyahu akan dilaksanakan karena banyak alasan.
Di atas kertas, ICC memiliki wewenang untuk memerintahkan penangkapan siapa pun yang diduga telah melakukan kejahatan yang tercantum dalam Statuta Roma, terhadap warga negara dari negara anggota ICC atau melakukan kejahatan di wilayah salah satu negara anggota.
Filipina sendiri sebenarnya telah keluar dari ICC pada 2019, atas instruksi Duterte ketika ia masih menjabat sebagai presiden. Namun panel hakim ICC menemukan bahwa pengadilan tersebut masih memiliki yurisdiksi terjadi sebelum penarikan tersebut.
Menunggu Giliran Netanyahu
Rodrigo Duterte mungkin mengharapkan perlindungan dari suksesornya, Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr., yang memang sempat berjanji melindunginya dari penyelidikan internasional. Tapi perselisihan antara Sara Duterte, wakil presiden Filipina sekaligus putrinya, dengan Ferdinand Marcos membuat Bongbong berubah pikiran.
Hubungan dua klan ini retak, demikian pula dengan proteksi bagi Duterte dari pengadilan internasional. Marcos kemudian mengizinkan ICC melakukan investigasi di negaranya.
Setelah berhasil menangkap mantan Presiden Rodrigo Duterte, yang berpotensi menjadi mantan kepala negara pertama di Asia yang diadili ICC, kini publik mendesak ICC menangkap tokoh lainnya yang juga menghadapi dakwaan serupa, termasuk PM Israel Benjamin Netanyahu.
Melansir The New York Times, selain sebagai sebuah keberhasilan, penangkapan Duterte juga disebut menjadi ujian bahi ICC, karena pengadilan tersebut telah mengeluarkan sura perintah penangkapan untuk Netanyahu, mantan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, serta pemimpin junta militer Myanmar, Min Aung Hlaing.

Wakil Presiden Eksekutif Quincy Institute for Responsible Statecraft, sebuah lembaga pemikir AS, Tirta Parsi menanggapi penangkapan Rodrigo Duterte.
“Mungkin Netanyahu dan Gallant akan menjadi yang berikutnya,” tulisnya di The New York Times.
Sementara itu, profesor di City University of New York Danny Shaw mengunggah video penangkapan Duterte, sambil mempertanyakan “Mengapa mereka tidak menangkap Netanyahu?”
Pemimpin proyek di organisasi perdamaian Belanda PAX Wim Zwijnenburg, memberikan dukungan atas langkah ICC menangkap Duterte. Tapi ia pun mendesak agar lembaga tersebut berani menyeret Netanyahu ke markas mereka mereka.
“Kerja bagus ICC. Sekarang lakukan hal yang sama pada Netanyahu. Bawa dia ke Den Haag atas kejahatan perang dan pembunuhan ribuan warga sipil,” ucapnya.
BACA JUGA:
Dalam sidang yang membahas Situasi di Negara Palestina, ICC menyatakan Netanyahu dan Gallant bertanggung jawab atas kejahatan berupa kelaparan sebagai metode perang, pembunuhan, penganiayaan, dan tindakan tidak manusiawi lainnya.
Blokade terhadap Gaza, yang menghalangi akses makanan, air, bahan bakar, dan pasokan medis, disebut menciptakan kondisi yang merusak kehidupan warga sipil, mengakibatkan kematian akibat malnutrisi dan dehidrasi.