Bagikan:

JAKARTA - Kekerasan terhadap perempuan masih jadi isu besar. Komnas Perempuan catat perkembangan dalam perkara ini. Jenis kekerasan yang dicatat bermacam-macam. Termasuk diskriminasi yang merupakan ranah negara.

Berdasar data tahun 2019, angka kekerasan di ranah negara tercatat di angka 0,1 persen atau 16 kasus. Yang tertinggi adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan angka 71 persen atau 9.637 kasus. Setelahnya, kekerasan terhadap perempuan di ranah publik catatkan persentase 28 persen atau 3.915 kasus.

Walau angka kekerasan terhadap perempuan di ranah negara mulai menurun, rasanya kita perlu mengingat catatan di masa pemerintahan Orde Baru, di mana persentase kekerasan jenis ini cukup tinggi. Dalam sejarah, mengingat adalah hal penting untuk mencegah agar sejarah tak lagi berulang.

Catatan paling disoroti dari kekerasan perempuan di ranah negara pada masa itu adalah diskriminasi kebebasan berekspresi, yakni pembatasan penggunaan hijab oleh kaum hawa. Saat itu, perempuan berhijab dianggap mengganggu keberlangsungan negara.

Pengaruh revolusi Iran

Revolusi di Iran pada tahun 1979 memengaruhi geliat perempuan muslim di zaman Orde Baru untuk mengenakan hijab. Revolusi Iran menumbuhkan dorongan psikologis bahwa berhijab di Indonesia adalah simbol harga diri, rasa hormat, kebanggaan, serta identitas baru.

Semangat menggunakan hijab juga dipicu adanya pemikiran Ikhwanul Muslimin yang masuk ke Indonesia melalui buku-buku para tokohnya yang banyak diterjemahkan sejak tahun 1970-an. Hasilnya, para perempuan --terutama di kalangan aktivis mahasiswi-- mulai menggunakan hijab.

Menurut Masnun Tahir dan Zusiana dalam Jurnal Al-Qawwam berjudul Menakar Kontekstualisasi Konsep Jilbab dalam Islam, dijelaskan bagaimana rezim Suharto melihat penggunaan hijab sebagai gerakan pemberontakan. Pandangan rezim dipengaruhi oleh banyaknya konflik di negara Timur Tengah saat itu. Mereka curiga penggunaan hijab adalah simbol pengaruh pemberontakan di Timur Tengah yang dapat mengancam kekuasaan Suharto kala itu.

Kecurigaan itu jadi alasan Orde Baru mengeluarkan kebijakan pada 17 Maret 1982 melalui Dirjen Pendidikan dan Menengah yakni Prof. Darji Darmodiharjo dengan SK 052/C/Kep/D.82. Tak hanya di Universitas, keputusan juga diterapkan di sekolah negeri. Hasil dari SK 052 menimbulkan berbagai kasus pelarangan hijab yang dialami oleh siswi-siswi sekolah negeri maupun civitas di kampus-kampus.

Kala itu, sanksi yang bisa diterima oleh siswi yang mengenakan hijab bisa berbentuk teguran, interogasi di ruang BK, hukuman skors, dijemur di lapangan sambil hormat bendera, bahkan sampai dikeluarkan dari sekolah negeri dan pindah ke sekolah swasta. Begitu banyak kasus pelarangan hijab yang terjadi sepanjang tahun 1985 sampai 1989.

Menurut Marle Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern, gerakan-gerakan Islam yang berseberangan dengan Orde Baru terhambat. "Pemerintah Orde Baru selalu menghalang-halangi umat Islam untuk menerapkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya melarang para perempuan memakai jilbab untuk menutupi auratnya."

Kebijakan yang dilawan

Suharto tak bisa berlama-lama menghalangi hijab karena kebijakannya banyak ditentang. Salah penentangan paling keras disuarakan Abdurrahman Wahid. Lambat laun, Suharto akhirnya meredam penentangan tersebut dengan merangkul orang Islam.

Hal ini dibuktikan Suharto dengan disetujuinya pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 1990 yang kemudian diiringi dengan memperbolehkan jilbab dipakai dan berkembang. Berdasar Surat Keputusan nomor 100/C/Kep/D/ tahun 1991, Dirjen Pendidikan dan Menengah memperolehkan memakai Hijab. 

“Usaha Soeharto mendapatkan dukungan Islam menghasilkan sejumlah konsesi pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Perempuan diperbolehkan memakai jilbab,” tulis Marle Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern.

Dari tahun ke tahun, setelah diperbolehkan perlahan-lahan pemakainya hijab semakin banyak. Para wanita bahkan semakin kreatif dalam memodifikasi jilbab. Tren ini dimulai dari ujung masa Orde Baru, hingga kini.