Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 76 tahun yang lalu, 4 Februari 1948, Ceylon (kini: Sri Lanka) merdeka dari penjajahan Inggris. Kemerdekaan itu didapat karena kaum nasionalis – kelompok Tamil dan Sinhala- bersatu melepas belenggu penjajahan.

Sebelumnya, Sri Lanka adalah wilayah yang akrab dengan praktik kolonialisme. Beberapa negara secara bergantian menjajah Sri Lanka, dari Portugis, Belanda, Prancis, hingga Inggris. Kondisi itu membuat kaum terpelajar gerah. Mereka kemudian berjuang mendapatkan kemerdekaan.

Kolonialisme adalah aib dalam perjalanan sejarah Sri Lanka. Praktik penjajahan itu sudah dilakukan sejak dulu kala. Penjajahan dimulai dari kedatangan Portugis, Belanda, hingga Prancis. Nafsu kekuasaan itu muasalnya karena gairah keuntungan dari potensi sumber daya alam yang dapat dihasilkan di Sri Lanka.

Inggris pun kepincut. Mereka kemudian menggunakan segala cara untuk dapat berkuasa pada 1800-an. Prancis pun diperangi. Kerajaan setempat pun tak luput jadi target perlawanan. Inggris pun berhasil menguasai Sri Lanka pada 1815.

Perayaan kemerdekaan Sri Lanka ke-75 pada 4 Februari 2023. (DW/Eranga Jayawardena/AP/picture alliance

Kekuasaan itu membuat Inggris segera bertindak memodernisasi Sri Lanka. Pembangunan pun digalakkan. Aturan perbudakan dihapus. Inggris mulai membangun banyak sekolah. Semenjak itu bahasa Inggris mulai dikenal di seantero Sri Lanka. Bahasa penjajah menjelma jadi bahasa pengantar pendidikan.

Namun, penjajah tetaplah penjajah. Penjajahan justru banyak mudarat, ketimbang manfaat. Inggris mulai membuat perkebunan bak industri penting di Sri Lanka. Kaum bumiputra mulai diperlakukan bak sapi perah. Inggris banyak mendapatkan untung dari perdagangan kopi hingga teh.

Ironinya, kaum bumiputra tak mendapat hasil yang setimpal. Inggris lalu memberikan ruang kepada kaum bumiputra mengenyam pendidikan sebagai tanggung jawab moral. Bahkan, kaum bumiputra dilibatkan dalam parlemen.

Nyatanya, hal itu jadi senjata makan tuan. Kaum nasionalis perlahan-lahan tumbuh. Mereka menuntut penjajah untuk memberikan lebih banyak kursi di parlemen untuk bumiputra.

Potret bendera Sri Lanka di berbagai penjuru kota. (Wikimedia Commons)

Hasilnya menggelegar. Alih-alih kaum nasional dari kelompok Tamil (hindu) dan kelompok Sinhala (Buddha) menghamba ke penguasa, mereka justru melakukan upaya membawa Sri Lanka ke arah kemerdekaan. Sekalipun antara kelompok Tamil dan Sinhala kerap bertikai.

“Kedua kelompok ini kemudian pecah karena para pemimpin Tamil menolak posisi mereka diminoritaskan dalam Kongres Nasional Ceylon. Di sisi lain, sejumlah pemimpin Sinhala pun tidak puas hanya dengan mendapatkan otonomi lebih besar, dan menginginkan kemerdekaan bagi Ceylon. Perjuangan warga Sinhala itu dipelopori beberapa tokoh. antara lain Junius Richard Jayawardane, Don Stephen Sennayake, dan Solomon Bandaranaike.”

“Pada tahun 1931, populasi warga Tamil di Ceylon hanyalah 15 persen dari keseluruhan populasi Ceylon, sedangkan populasi warga Sinhala adalah 72 persen dari keseluruhan populasi. Tuntutan Ponnambalam (tokoh Tamil) itu pun ditolak otoritas penjajah Inggris, yang ingin menjadikan Ceylon sebagai negara demokratis dengan melampaut sentimen-sentimen etnis,” terang Yoki Rakaryan Sukarjaputra dalam buku Auman Terakhir Macan Tamil: Perang Sipil Sri Lanka 1976-2009 (2010).

Perkara memperoleh kemerdekaan tak mudah. Seisi Sri Lanka – utamanya Etnis Tamil dan Sinhala harus bersatu jika ingin merdeka. Persatuan itu mutlak dibutuhkan untuk memutus penjajahan Inggris. Tiap etnis mulai mendirikan partainya masing-masing.

Narasi bersatu itu membuat Inggris bak tak memiliki kuasa lagi di Sri Lanka. Alhasil, Inggris merelakan Sri Lanka untuk memproklamasikan kemerdekaannya pada 4 Februari 1948. Kemerdekaan itu disambut dengan gegap gempita, walau status kemerdekaan itu tetap membuat Sri Lanka berstatus negara dominion Inggris hingga 1972.

“Kemerdekaan sebenarnya untuk Sri Lanka terjadi pada tanggal 4 Februari 1948. Kemerdekaan itu hadir ketika konstitusi yang diresmikan tahun 1947 mulai berlaku. Konstitusi mengatur adanya kekuasaan dari anggota parlemen hingga Senat yang sebagian dicalonkan dan sebagian lagi dipilih secara tidak langsung oleh anggota parlemen,” tertulis dalam laman Britannica