Bicara Sri Lanka yang Gagal Bayar Utang, Sri Mulyani: Pelajaran Berharga untuk Indonesia Kuatkan Mitigasi Pengelolaan Anggaran
Menteri Keuangan Sri Mulyani (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani turut menyinggung soal kondisi Sri Lanka yang disebutkan mengalami gagal bayar utang negara dengan perkiraan nilai sekitar 51 miliar dolar AS atau setara Rp731 triliun (kurs APBN Rp14.350).

Menurut Menkeu, apa yang dialami oleh negara di Asia Selatan itu tidak lepas dari pengaruh geopolitik dan dinamika global yang terjadi saat ini. Dalam penuturannya, negara berkembang cenderung lebih rentan mengalami tekanan ketika menghadapi gejolak yang bersifat menyeluruh.

“Kita melihat tekanan seluruh dunia terhadap negara akan meningkat, seperti yang terjadi salah satu negara Sri Langka,” ujarnya ketika bertemu dengan awak media melalui saluran virtual dalam forum KSSK, Rabu, 13 April.

Menkeu menambahkan, situasi ini menjadi pelajaran yang berharga bagi Indonesia untuk menguatkan aspek mitigasi dan pengelolaan anggaran secara hati-hati.

“Kita tetap kita jaga secara sangat pruden untuk kondisi utang Indonesia,” tuturnya.

Sebagai informasi, Sri Lanka saat ini dilaporkan tengah menghadapi situasi ekonomi yang sangat tidak menguntungkan dengan kegagalan membayar utang sebesar Rp731 triliun. Bahkan, sebuah literatur menyebutkan bahwa keadaan itu merupakan yang terburuk sejak Sri Lanka merdeka pada 1948.

Adapun Indonesia sendiri hingga Februari 2022, posisi utang pemerintah berada di angka Rp7.014,58 triliun dengan rasio terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 40,17 persen. VOI mencatat, jumlah ini meningkat dari bukuan akhir Januari 2022 yang sebesar Rp6.919,15 triliun.

Lebih lanjut, struktur utang pemerintah di Februari lalu didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp6.164,2 triliun atau 87,88 persen.

Sementara sisanya yakni Rp850,38 triliun atau 12,12 persen berupa pinjaman yang terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp13,27 triliun dan pinjaman luar negeri Rp837,11 triliun.

Pemerintah sendiri mengklaim bahwa status kewajiban tersebut masih tetap aman mengingat amanah konstitusi menyediakan ruang penarikan utang hingga 60 persen terhadap PDB.