Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 139 tahun yang lalu, 5 Februari 1885, Raja Belgia, Leopold II resmi menjadikan Negara Bebas Kongo (kini: Republik Demokratik Kongo) sebagai wilayah milik pribadi. Hak itu didapatkan Leopold karena mendapatkan restu dalam Konferensi Berlin.

Suatu pertemuan yang mengatur perdagangan dan penjajahan Eropa di Afrika. Sebelumnya, persaingan negara Eropa menjajah negeri Afrika kerap terjadi. Leopold pun tak mau ketinggalan. Ia berhasrat menjajah Kongo untuk membangun Belgia dan menggemukkan kantong kerajaan.

Kegemaran bangsa Eropa menjajah bukan pepesan kosong belaka. Narasi itu telah ditunjukkan sejak dulu kala. Di Benua Afrika, utamanya. Mereka menganggap Afrika adalah gudangnya keuntungan. Sumber daya alam melimpah dan tenaga kerja murah bejibun.

Narasi itu membuat bangsa Eropa berdatangan satu demi satu. Belakangan Raja Belgia, Leopold II ikut kepincut. Ia melirik Kongo karena wilayah itu terkenal kaya akan sumber daya alam: karet dan biji logam.

Potret perbudakan dan kerja paksa selama Kongo jadi wilayah milik pribadi Leopold II. (Wikimedia Commons)

Masalah muncul. Belgia bukan kekuatan besar dalam peta imperialisme dunia. Filipina saja tak dapat dijajah. Leopold mencoba mengalihkan pikirannya ke Kongo. Namun, misi itu takkan mudah. Siasat pun dimainkan. Leopold mulai mengemas sebuah siasat cemerlang.

Ia paham benar kapasitas Belgia dalam berperang. Belgia takkan bisa mengalahkan negara-negara besar yang ada. Leopold mencoba masuk dengan membawa narasi misi kemanusiaan. Ia membekali rencananya dengan mendirikan Asosiasi Internasional Kongo.

Asosiasi itu muncul bak juru selamat yang akan membangun Kongo. Jalan-jalan pun dibangun. Ia mencoba mendekati banyak kepala suku untuk mendukungnya. Ia seakan ingin dicitrakan sebagai penyelamat. Semuanya ia lakukan demi mengelabui negara-negara besar dunia supaya berpihak.

“Pada bulan November 1878 Leopold membentuk Asosiasi Internasional Kongo untuk membuka pedalaman Afrika bagi perdagangan Eropa di sepanjang Sungai Kongo. Antara tahun 1879 dan 1882, di bawah naungan asosiasi, Leopold lewat orang suruhan mendirikan stasiun di Kongo bagian atas dan membuka negosiasi dengan kepala suku.”

“Pada tahun 1884, Asosiasi Internasional Kongo telah menandatangani perjanjian dengan 450 entitas independen Afrika. Atas dasar itu, menegaskan haknya untuk mengatur seluruh wilayah terkait sebagai negara merdeka,” tertulis dalam laman Britannica.

Pemandangan malam hari di Ibu Kota Republik Demokratik Kongo, Kinshasa yang dahulu bernama Leopoldville. (Wikimedia Commons)

Hasil kerjanya di Kongo membuahkan hasil. Bekal kepedulian (dengan tipu daya) dan persetujuan banyak kepala suku membuat negara besar lainnya (Jerman, salah satunya) mendukung Leopold mengelola Kongo. Keputusan itu diungkap dalam Konferensi Berlin 1884-1885.

Leopold langsung tancap gas. Keserakahannya terlihat sejak dapat restu. Ia pun mendirikan Negara Bebas Kongo sebagai wilayah pribadinya (bukan koloni belgia) pada 5 Februari 1885. Semenjak itu belang Leopold kelihatan. Alih-alih ingin membangun Kongo, Ia justru mengeruk hasil alam Kongo.

Kaum bumiputra pun tak luput jadi korban perbudakan. Mereka diperas bak sapi perah. Barang siapa yang tak menurut, maka siksaan hingga kematian akan menanti. Keuntungan penjajahan itu membuat Leopold dikenal sebagai Raja Pembangun. Ia membangun banyak hal di Belgia dari uang penjajahan. Kongo baru berubah status jadi negeri koloni Belgia pada 1908.

Kongo pun merdeka pada 1960. Negara itu langgeng dikenal sebagai Republik Demokratik Kongo. Suatu negara yang berbeda dengan Republik Kongo yang pernah dijajah Prancis.

“Leopold menjalankan Negara Bebas Kongo sebagai usaha untuk keuntungan pribadi dan membangun Belgia. Dengan pasukan yang mencakup anak-anak yatim piatu Kongo, raja dan agen-agennya menguras sumber daya tanah tersebut.”

“Leopold kemudian secara paksa memindahkan, memisahkan, dan memperbudak keluarga-keluarga kaum bumiputra. Kejadian mengerikan itu terjadi sebelum Leopold dipaksa negara-negeri besar untuk menyerahkan kendali atas wilayah tersebut kembali ke negara Belgia, bukan pribadi,” terang Megan Specia dan Monica Pronczuk dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul Belgium’s King Sends Letter of Regret Over Colonial Past in Congo (2021).