Bagikan:

JAKARTA - Pada 22 Desember 1972, Angkatan Udara Cile menemukan 14 orang yang selamat dari kecelakaan pesawat Uruguayan Air Force yang jatuh di Pegunungan Andes, Argentina. Kabar pertama adanya korban selamat didapat ketika dua korban muncul setelah melakukan perjalanan selama sepuluh hari untuk mendapatkan bantuan.

Kedua pria tersebut, Roberto Canessa dan Fernando Parrado kemudian menghubungi layanan darurat dan mengarahkan mereka ke reruntuhan pesawat. Sebanyak enam orang lainnya juga berhasil selamat.

Mereka diterbangkan dengan helikopter ke rumah sakit di San Fernando. Delapan lainnya yang masih berada di pegunungan menerima perawatan medis sampai kondisi cuaca memungkinkan untuk diselamatkan.

Kecelakaan pesawat Uruguayan Force Air, yang juga disebut "Miracle of the Andes" atau "Spanish El Milagro de los Andes" merupakan penerbangan yang ditumpangi oleh tim rugby amatir Uruguay. Pesawat menabrak gunung yang menyebabkan rusaknya sayap kanan.

Selain sayap kanan, sayap kiri pesawat juga rusak setelah menabrak lembah terpencil di Argentina dekat perbatasan Cile. Pencarian pesawat tersebut dilakukan, tetapi lokasi terakhir yang dilaporkan salah.

Upaya penyelamatan bergeser ke Andes. Korban selamat juga mengatakan mereka melihat beberapa pesawat yang berterbangan. Namun, pegunungan yang tertutup salju membuat pencarian terhambat.

Selain itu, lingkungan yang keras membuat banyak orang menduga tak akan ada yang selamat. Setelah delapan hari berlangsung, pencarian pun dihentikan.

Upaya bertahan hidup sampai makan jasad

Mengutip Britannica, Selasa, 22 Desember, kecelakaan itu awalnya menewaskan 12 orang dan 33 orang selamat. Beberapa di antaranya terluka.

Di ketinggian sekitar 3.500 meter, mereka yang selamat menghadapi salju dan suhu yang luar biasa dingin. Badan pesawat sebagian besar utuh, memberikan mereka perlindungan terbatas dari dinginnya pegunungan salju.

Namun masalah semakin terlihat nyata ketika persediaan makanan yang sangat sedikit habis dalam waktu sekitar seminggu. Setelah berdiskusi panjang lebar, para korban selamat yang kelaparan terpaksa memakan mayat korban meninggal.

Selama beberapa minggu berikutnya, enam orang lain tewas. Kesulitan lebih lanjut melanda pada 29 Oktober, ketika longsoran salju mengubur badan pesawat dan delapan orang tewas.

Pengakuan korban selamat yang memakan jasad para korban menimbulkan reaksi internasional, sampai akhirnya salah satu korban selamat mengklaim bahwa mereka terinspirasi Perjamuan Terakhir, di mana Yesus memberi murid-muridnya roti dan anggur yang dia nyatakan sebagai tubuh dan darahnya.

Penjelasan tersebut membantu memengaruhi opini publik dan gereja kemudian membebaskan orang-orang tersebut. Salah seorang korban selamat, Roberto Canessa juga menolak pernyataan bahwa apa yang ia dan rekan-rekannya lakukan adalah kanibalisme.

Canessa berpendapat kanibalisme adalah ketika ia membunuh seseorang untuk dimakan. Namun kondisinya saat itu korban selamat memakan rekan-rekan mereka yang meninggal karena kecelakaan. 

"Saya telah berdiskusi tentang hal ini selama 40 tahun. Saya tidak peduli. Kami harus memakan mayat dan hanya itu (yang bisa dilakukan). Dagingnya mengandung protein dan lemak yang kami butuhkan, seperti daging sapi. Saya juga terbiasa dengan prosedur medis sehingga lebih mudah bagi saya untuk melakukan pemotongan pertama," kata Canessa dalam wawancara yang dilakukan National Geographic.

"Orang sering berkata, 'Oh, kamu selamat karena kamu makan orang.' Tapi bagi saya, itu bukanlah bagian terkuat. Saya pikir kami selamat karena kami adalah satu tim dan karena kami berhasil keluar dari gunung," tambahnya. 

Kecelakaan tidak terlupakan itu menjadi dasar tulisan sejumlah buku dan film, termasuk buku best seller berjudul Alive (1974) karya Piers Paul Read, yang diadaptasi untuk film layar lebar pada 1993. Selain itu, beberapa penyintas juga menulis buku untuk menceritakan kisahnya.