JAKARTA - Beberapa tahun terakhir, tren thrifting atau membeli barang bekas kian menjamur di pasaran Indonesia. Meski terlihat sebagai salah satu bentuk transaksi jual beli yang ramah lingkungan (prinsip menggunakan kembali atau reuse), thrifting ternyata memiliki dampak negatif bagi perekonomian Indonesia.
Merespons hal tersebut, Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid mengatakan, meskipun terlihat sebagai bentuk konsumsi yang ramah lingkungan, tetapi thrifting memiliki dampak negatif pada kesehatan, lingkungan, dan ekonomi.
Menurut dia, terkadang masyarakat membeli barang bekas hanya untuk memenuhi keinginan tanpa mempertimbangkan kebutuhan. Hal ini menyebabkan munculnya lebih banyak sampah yang harus diolah, mengonsumsi sumber daya yang tidak diperlukan.
"Selain itu, thrifting juga bisa mempengaruhi keberlangsungan industri. Membeli barang bekas dapat mengurangi permintaan produsen dan brand (jenama) pakaian dalam negeri, hingga kemudian menurunkan pendapatan produsen dan brand pakaian dalam negeri," kata Arsjad dalam keterangan tertulisnya, Senin, 20 Maret.
"Industri yang terkena dampak dari transaksi ilegal ini termasuk pabrik, toko retail, dan juga para pekerja terkait di keseluruhan rantai pasok di industri pakaian," tambahnya.
Sebenarnya, kata Arsjad, thrifting pakaian bekas impor ilegal bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain, seperti Kenya dan Chile.
Di Kenya, masuknya pakaian bekas impor ilegal secara drastis mengurangi jumlah tenaga kerja pada industri tekstil. Pada masa jayanya industri tekstil, sebanyak 30 persen dari jumlah pekerja formal di Kenya dapat terserap di industri ini.
Namun, industri tekstil yang sempat mempekerjakan lebih dari 200.000 pekerja tersebut, kini hanya dapat menyerap kurang dari 20.000 pekerja karena tingginya jumlah impor pakaian bekas.
Kemudian di Chile, sebanyak 59.000 ton sampah tekstil didatangkan ke negara tersebut dari berbagai penjuru dunia, yang mengakibatkan sampah-sampah menggunung karena mayoritas tidak dapat terserap pasar.
Sedangkan, di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai impor pakaian bekas meningkat hingga 607,6 persen secara year on year (yoy) pada Januari-September 2022.
"Tren ini sangat perlu diwaspadai pemerintah dan pelaku industri pakaian dalam negeri untuk menghindari peningkatan dampak negatif dari impor pakaian bekas ini," ujar Arsjad.
Akibat dari hal tersebut, Arsjad pun menghimbau, agar masyarakat lebih memahami dampak negatif dari thrifting pakaian bekas impor ilegal.
"Dalam konteks ini menjadi jelas, thrifting pakaian bekas impor adalah bentuk ekonomi sirkular yang tidak tepat dan merugikan bagi negara, termasuk Indonesia. Indonesia harus melindungi produsen dan brand industri pakaian dalam negeri, apabila kami ingin melihat industri pakaian dalam negeri maju dan bersaing di pasar global," jelas dia.
BACA JUGA:
Menurut Arsjad, saat ini Indonesia memiliki banyak brand pakaian lokal yang memiliki kualitas mumpuni dan bahkan sudah merambah pasar global.
Oleh karena itu, para pemangku kepentingan di Indonesia perlu fokus pada upaya dan kampanye bangga belanja dan mengenakan produk buatan Indonesia, bersama-sama mempromosikan produk terbaik UMKM Tanah Air.
"Mari bersama-sama mempromosikan produk-produk lokal yang berkualitas dan mendukung perekonomian kami Dengan cara ini, kami dapat membangun industri pakaian Indonesia yang kuat dan berkelanjutan, serta mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia," pungkasnya.
Diketahui sejak 2015, pemerintah telah melarang adanya praktik impor pakaian bekas melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51 Tahun 2015.
Artinya, selama ini thrifting atau jual beli pakaian bekas impor adalah sebuah transaksi jual beli yang ilegal karena pakaian bekas impor dikategorikan sebagai limbah mode dan dilarang untuk diimpor masuk karena terkait dengan aspek kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan.