Bagikan:

JAKARTA - Korupsi bukan barang baru bagi pegawai Maskapai Dagang Belanda, VOC. Laku hidup yang gemar foya-foya ada di baliknya. Mereka ingin meniru kehidupan Raja Jawa yang dikelilingi kemewahan. Tiada yang mengganggu eksistensi mereka memperkaya diri sendiri.

Apalagi korupsi bukan cuma dilakukan satu atau dua orang, tapi dilakukan secara berjemaah. Dari pejabat rendah hingga kelas Gubernur Jenderal. Karenanya, VOC kerap dipelesetkan menjadi Vergaan Onder Corruptie (Binasa Akibat Korupsi).

Profesi sebagai pegawai Kompeni pernah jadi primadona. Orang-orang Belanda yang memiliki pendidikan rendah nan miskin berlomba-lomba untuk masuk Kompeni. Mereka menganggap berkerja dengan Kompeni bak kendaraan mengubah nasib.

Syarat perekrutannya tak sulit. Selama bukan Katolik, tiap orang Belanda berkesempatan menjadi pegawai VOC. Satu-satunya risiko yang mereka hadapi adalah bersiap melepas segala macam kehidupan di Belanda dan segera memulai hidup di Nusantara.

Mereka harus bertaruh hidup di atas lautan berbulan-bulan lamanya. Tak membawa sanak famili pula. Mereka kemudian ditempatkan di negeri koloni, salah satunya di Nusantara. Nasib baik banyak mengiringi kehidupan pejabat Kompeni.

Simbol  kebesaran VOC dan Batavia karya Jeroni­mus Becx pada 1651. (Rijksmuseum Amsterdam)

Mereka yang dulunya bukan warga Belanda terpandang, melesat jadi warga kelas satu. Akses jabatan dan uang membuat mereka kaya raya. Alih-alih berhemat, justru mereka melanggengkan hobi baru: foya-foya.

Pamer kekayaan dan pesta pora sudah menjadi kebiasaan di negeri koloni. Langkah dianggap ajang balas dendam karena di Belanda mereka terlahir miskin. Mereka tak mau mengulangi kehidupan suram itu. Alhasil, mereka di Nusantara menikmati hidup.

Sekalipun mereka tak ingin selamanya menetap di Nusantara. Pejabat Kompeni hanya menganggap Nusantara sebagai ladang uang. Setelah kontrak dengan VOC selesai mereka segera pulang ke tanah airnya dengan kekayaan.

“Keluhan bahwa orang-orang Belanda tidak bermoral dan bersemangat ternyata masih berlaku. Mereka lebih sering minum-minum dan bermalas-malasan, sementara para wanita muda hanya senang pamer kekayaan sehingga menjadi contoh buruk bagi para pegawai Kompeni. Terutama para wanita yang tidak dapat menyesuaikan diri pada iklim tropis.”

“Mereka sering berkeluh kesah dan nyaring menyuarakan hasrat agar segera dapat berlayar pulang ke tanah air. Namun, begitu sudah berada di kapal, mereka sangat menderita karena harus tinggal dalam kabin-kabin sempit tanpa bantuan para budak sehingga banyak di antara mereka yang kemudian kembali berkeluh-kesah,” sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).

Ajian Korupsi Berjemaah

Gaya hidup mewah pejabat VOC bukan hanya ditopang dari gaji semata. Apalagi, gaji yang diterima pejabat VOC acap kali sekedarnya saja – jika tak mau dikatakan kecil. Pejabat Kompeni lalu putar otak. Satu-satunya opsi yang mudah dan menguntungkan kala itu adalah korupsi.

Praktek korupsi di kalangan pegawai Kompeni telah mengakar. Bahkan, korupsi telah dilanggengkan pejabat rendahan hingga Gubernur Jenderal VOC. Upaya memperkaya diri sendiri itu nyaris dilakukan oleh hampir segenap pegawai VOC. Alias korupsi berjemaah.

Korupsi berjemaah dilakukan dalam ragam cara. Antara lainnya manipulasi timbangan, penjualan kedudukan, monopoli perdagangan, dan lain sebagainya. Upaya itu berlangsung dari awal Kompeni eksis. Kompeni kemudian ketiban sial. Mereka merugi. Sedang pejabat VOC yang korup mendapatkan untung bejibun karena keuntungan perdagangan masuk kantong pribadi.

Perilaku korupsi berjemaah itu terus langgeng. Tiada yang memiliki nyali untuk memberantas. Akibatnya, orang-orang kerap menjuluki VOC sebagai Vergaan Onder Corruptie (Binasa Akibat Korupsi). Pun Kompeni akhirnya bangkrut karena rugi melulu. Bahkan, sampai memiliki utang menggunung.

Gaya hidup mewah pejabat VOC dalam lukisan Johannes Rach. (Wikimedia Commons)

“VOC seperti semua organisasi politik/ekonomi zaman itu, hanya memberikan gaji nominal, sekadar uang pengikat. Seorang Gubernur Pantai Utara Jawa, misalnya, hanya digaji 80 gulden sebulan – dan meminta gaji tersebut diberikan saja kepada keluarganya di Holland (Belanda). Karena itu para pejabat VOC, yang seharusnya berdagang demi kepentingan majikannya, justru berusaha demi keuntungan sendiri.”

“Dalam ketentuan pejabat VOC memang dapat berusaha sendiri –setelah berdagang untuk VOC—dan itu disebut marshandel (perdagangan sisa). Namun, kapal-kapal VOC yang berangkat dari Jawa memuat demikian banyak barang perdagangan sisa milik pribadi pejabat VOC, dan hanya sedikit barang resmi,” ungkap sejarawan Ong Hok Ham dalam buku Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2018).