JAKARTA – Memori hari ini, 24 tahun yang lalu, 30 September 1998, Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan televisi swasta lainnya tak lagi diwajibkan menayangkan film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Kebijakan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie ada di baliknya. Habibie tak ingin segenap rakyat Indonesia berlarut-larut menggali masa lalu. Apalagi Habibie meyakini mereka yang selalu menggali masa lalu jauh dari kemajuan. Belum lagi, film itu banyak memuat kesalahan narasi sepanjang tontonan.
Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) membawa duka yang mendalam bagi segenap rakyat Indonesia. Penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat (AD) begitu menggemparkan. Soeharto pun muncul bak juru selamat.
Ia segera mengembalikan keadaan. Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggapnya sebagai dalang utama. upaya penumpasan dilakukan. keberaniannya pun –kala itu—didukung rakyat Indonesia. Puncaknya, Soeharto berhasil menggantikan Bung Karno sebagai orang nomor satu Indonesia.
Alih-alih segera melupakan peristiwa G30S, Soeharto justru ingin membuat sebuah film propaganda yang mampu membuat masyarakat tak lupa kekejaman PKI pada 1984. Arifin C. Noer didaulat sebagai sutradara. Perum Perusahaan Film Negara (PPFN) dipilih sebagai rumah produksi. Film itu dinamakan Pengkhianatan G30S/PKI.
The Smiling General lalu mewajibkan TVRI dan televisi swasta lainnya untuk memutar film propaganda itu tiap tahun, setiap 30 September. Sebab, film itu digadang-gadang sebagai satu-satunya sumber informasi yang menguak kebenaran G30S.
“Jaringan televisi milik negara, TVRI, menayangkan film itu setiap tahun pada tanggal 30 September. Stasiun televisi swasta diwajibkan menayangkan juga. Film ini membingkai kerangka induk dan menyeluruh bagi diskusi publik, angan-angan, dan kiasan sepanjang periode Orba.”
“Pernyataan atau pertanyaan publik yang meragukan keabsahan sejarah resmi 1965 atau menyebut kisah berbeda dari para ahli luar negeri tentang hal ini, dinyatakan sebagai pelanggaran hukum dan dapat dijatuhi hukuman pidana. Sekalipun menghadapi intimidasi seperti itu, suara-suara sumir tetap bermunculan dari waktu ke waktu semasa Orde Baru berkuasa, walau segera dilibas,” ungkap Ariel Heryanto dalam buku Identitas dan Kenikmatan (2015).
Nyatanya, film Pengkhianatan G30S/PKI justru banyak fiksi dibanding realita. Banyak bagian dari film yang tidak sesuai dengan realita di lapangan. Utamanya saat mulai menjamurnya referensi terkait G30S. Habibie pun menyakini hal itu. Keyakinannya semakin kuat ketika bergerak menggantikan Soeharto.
Ia pun memutuskan untuk menghentikan film itu tayang tiap 30 September. Kebijakannya pun langsung dilaksanakan pada 30 September 1998. Tiada televisi yang diwajibkan menayangkan film Penumpasan Pengkhianatan G30S. Apalagi habibie menganggap menggali kembali sejarah G30S adalah buang-buang waktu.
“Saya tidak mau mengeluarkannya bila terus terang. Saya tidak benarkan meluangkan waktu yang saya miliki hanya 24 jam sehari untuk menggali masa lampau. Saya tidak mau. And itu kenapa, salah. Banyak bangsa-bangsa gara-gara itu tak maju-maju. Udah deh semua pahlawan, seperti saya bilang tadi. Saya harus membereskan banyak yang anti, yang anti juga saya rangkul peluk, karena mereka juga saudara saya,” terang Habibie sebagaimana dikutip laman Kompas TV, 28 September 2017.