Hotel Tutup Jadi 1.642, Pengusaha Pusing Mau Strategi Apa Lagi untuk Tingkatkan Okupansi
Ilustrasi. (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pandemi virus corona atau COVID-19 di Indonesia penyebarannya kian meluas. Dampak akibat virus ini semakin berat dirasakan pengusaha, khususnya perhotelan. Sebab, sektor pariwisata merupakan yang terdampak dari mewabahnya virus ini.

Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menyebut, akibat mewabahnya virus COVID-19 di Indonesia menyebabkan 1.642 hotel ditutup. Jumlah ini naik dari sebelumnya yakni 1.174.

"1.642 hotel (tutup) per 13 April. Kerugian selama empat bulan dengan perkirakan kamar 710 ribu, kurang lebih mencapai Rp3 triliun," ujarnya, dalam video conference bersama wartawan, di Jakarta, Kamis, 16 April.

Hariyadi menjelaskan, biaya operasional yang tinggi dengan pemasukan yang kecil membuat hotel-hotel tidak mampu bertahan di tengah pandemi COVID-19 ini. Menurut dia, pengusaha hotel juga telah melakukan efisiensi dengan menekan pengeluaran agar dapat bertahan.

"Semua cost kami cut, nomor satu tenaga kerja. Kedua, listrik. Ketiga perbankan. Tiga komponen ini kami kendalikan, kalau unpaid leave ditutup biar tidak ada biaya energi dan minta bank dengan pembayaran bagian minimal," katanya.

Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani. (Mery Handayani/VOI)

Menurut Hariyadi, pengusaha hotel saat ini masih mempertahankan beberapa staf yakni security dan enginering untuk hotel dalam kondisi ditutup. Sementara, hotel dengan kondisi masih beroperasi yakni housekeeping, pelayanan room service dan front office. Sebab, okupansi hotel tingkat nasional sudah sangat rendah.

"Sekarang di bawah 10 persen, sudah terlalu rendah," tuturnya.

Awalnya, kata Hariyadi, pengusaha hotel masih memiliki harapan dengan masuknya bulan Ramadan atau bulan puasa, akan ada arus mudik yang dapat memberi pemasukan bagi hotel. Sebab, hotel-hotel akan dipakai untuk tempat isolasi bagi mereka yang datang dari luar daerah tersebut.

"Namun kita kalau dari seluruh sektor riil mengharapkan mudik enggak terjadi. Karena situasi lebih sulit dari penanganan kesehatan," tuturnya.

Sementara itu, COO Omega Hotel Management Kurnia Sukrisna mengatakan, pandemi ini menyebabkan delapan hotelnya tutup dari total 16 hotel yang dikelola. Sedangkan yang masih beroperasi kebanyakan milik investor dan mencoba bertahan.

"Tapi dari kami sebagai operator sudah ada guide line, sekitar Maret ini kami sudah menyiapkan mitigasi plan what if-nya jadi sudah cukup jelas untuk internal kami dan para investor," tuturnya.

Menurut Kurnia, jika okupansi hotel sudah jauh dari target awal yakni 50 persen, akan sangat berat untuk hotel tersebut bertahan. Apalagi, dengan beban pekerja, serta biaya operasional. Karena itu, dia mengaku, tidak berharap lebih okupansi akan bertahan di angka yang baik.

"Karena gimanapun juga kalau sudah 10 persen, (dari) 50 persen tergantung bintangnya tentunya akan berat sekali untuk bertahan. Memang banyak yang mencoba menawarkan work from hotel, atau apa. Tapi ya banyak juga yang gagal dan rencana tutup. Kami pun yang ada operasi saat ini ada semacam itu, tapi lebih ke arah special price saja," katanya.

Kurnia mengatakan, situasi ini sungguh membuat semua pengusaha hotel dalam kondisi mendebarkan. Sebab, saat ini wabah COVID-19 belum selesai, sementara itu pengusaha juga harus memikirkan strategi untuk menghadapi situasi pasca pandemi virus ini.

"Saat ini kasih kita alami COVID-19, masih on. Kita tidak tahu (sampai) kapan. Selesai COVID-19 pun resesi sudah menghadang menurut saya. Jadi buat kita ini jangka pendek, menengah, itu memang agak berat tergantung napas masing-masing," tuturnya.

Menurut Kurnia, di tengah tekanan COVID-19, pihaknya berusaha untuk tidak melakukan rasionalisasi karyawan atau pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, dirinya tidak menjamin jika wabah ini masih terus lanjut.

Di sisi lain, Kurnia mengungkap, strategi pihaknya untuk mempertahankan hotel yang masih tetap beroperasi dengan meningkatkan promosi melalui digital marketing atau melalui media online. Sebab, dalam kondisi saat ini hampir semua orang tidak terlepas dari telepon genggam.

"Semua kegiatan promosi masih berlangsung buat yang buka. Jadi tetap kami lakulan pengelolaan relationship dengan customer," jelasnya.

Sementara itu, Kurnia mengatakan, untuk okupansi hotel yang dikelola oleh pihaknya berbeda-beda jumlahnya, karena tergantung hotel tersebut berada di daerah mana.

"Macam-macam, di Sampit somehow semalam saja bisa 44 persen. Di Cirebon bisa kurang lebih 20-25 persen. Rata-rata 25 persen," tuturnya.

PHK

Sebelumnya, imbas pandemi COVID-19 ini, karyawan hotel dirumahkan. Bahkan ada yang berujung dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dari data yang diperoleh VOI dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), per 1 April 2020, sudah ada 1.174 hotel yang tutup. Dengan rincian, ada yang karyawannya berstatus cuti, ada yang cuti tanpa dibayar, dan juga ada yang sudah mem-PHK karyawannya.

Ketua PHRI DKI Jakarta, Krishnadi menuturkan, tingkat hunian atau okupansi hotel di Tanah Air sejak awal Maret memang sudah menurun signifikan dibanding bulan Januari atau Februari.

"Bulan Januari-Februari masih bervariasi, di kisaran 40-60 persen. Nah di awal Maret anjlok jadi 20 persen. Di akhir Maret lebih parah lagi, sudah di bawah 10 persen," jelasnya kepada VOI, Sabtu 4 April.

Padahal menurut dia, jika dalam kondisi normal, pada bulan April itu hotel sedang ramai-ramainya. Okupansi di bulan Maret saat keadaan normal pun kata Krishnadi, harusnya sedang tinggi-tingginya.

"Nah ini malah di bawah 10 persen. Bahkan saya yakin, sekarang sudah di bawah 5 persen. Jangankan menghitung persentase, ada yang menginap 1 sampai 10 pintu saja sudah bagus," ujar Krishnadi.

Alhasil, pengelola pun menutup sementara hotelnya. Itu juga dilakukan karena mengikuti imbauan pemerintah. Nah yang terdampak, adalah karyawan-karyawan yang harus dirumahkan, bahkan harus terkena PHK.