JAKARTA - Pandemi COVID-19 atau virus corona seketika mengguncang dunia. Sejak November 2019 hingga saat ini, hampir seluruh penjuru dunia ada yang terpapar virus ini. Guncangan itu tentu saja membuat "kaget" dan berimbas pada ketidakpastian sektor ekonomi di beberapa negara.
Harapan ada perbaikan ekonomi pasca kesepakatan perdagangan fase satu antara Amerika Serikat (AS) dengan China yang menghentikan sementara perang dagang antara kedua negara seolah tenggelam, karena timbul ketidakpastian baru akibat COVID-19.
Salah satu sektor bisnis yang paling terimbas virus ini adalah bisnis perhotelan. Keterbatasan gerak manusia akibat lockdown, karantina wilayah, atau social distancing maupun phsyical distancing, berdampak pada sepinya tamu yang datang.
Mau tidak mau, pengelola pun harus menutup sementara hotelnya sampai waktu yang tidak ditentukan. Bisnis perhotelan saat COVID-19 pun kembang kempis.
Imbasnya, karyawan dirumahkan. Bahkan ada yang berujung dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dari data yang diperoleh VOI dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), per 1 April 2020, sudah ada 1.174 hotel yang tutup. Dengan rincian, ada yang karyawannya berstatus cuti, ada yang cuti tanpa dibayar, dan juga ada yang sudah mem-PHK karyawannya.
Salah satu karyawan hotel di kawasan Mampang --yang ditutup sementara-- Rima (31 tahun), mengaku pasrah menghadapi situasi serba tak pasti seperti ini.
"Keadaannya memang lagi begini, mau bagaimana lagi," ujar Rima kepada VOI, Senin 6 April.
Ia mengatakan, hotel tempat dirinya bekerja itu sudah ditutup sejak 25 Maret 2020, dan belum ada kejelasan kapan akan dibuka kembali. Sebenarnya Rima mengaku tak masalah menjalani keseharian di rumah dan menjadi ibu rumah tangga, namun status dirinya sejak tanggal 25 Maret tersebut adalah unpaid leave atau cuti tanpa dibayar.
"Dirumahkan seperti ini, berpengaruh sekali buat keuangan saya. Karena saya dan hampir semua karyawan hotel tempat saya bekerja, statusnya cuti tanpa dibayar. Nah ini kan enggak tahu sampai kapan. Kalau ditutup sampai bulan depan, ya berarti saya enggak dibayar selama sebulan itu," keluhnya.
Ia pun berharap, insentif yang digadang-gadang pemerintah secepatnya bisa dinikmati oleh para pekerja di sektor perhotelan. Secercah harapan itu pun mulai muncul ketika beberapa hari lalu, divisi Sumber Daya Manusia (SDM) di tempat Rima bekerja, sudah mendata karyawan-karyawan yang berhak menerima insentif.
Usut punya usut, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) memang sedang mendata mengenai hal tersebut. Namun, Rima masih belum mengetahui kapan insentif itu akan sampai kepada dirinya.
"Kapan cairnya dan nominalnya berapa, saya pun belum tahu. Kalau memang cair ya Alhamdulillah," tuturnya.
Okupansi Merosot Parah
Ketua PHRI DKI Jakarta, Krishnadi menuturkan, tingkat hunian atau okupansi hotel di Tanah Air sejak awal Maret memang sudah menurun signifikan dibanding bulan Januari atau Februari.
"Bulan Januari-Februari masih bervariasi, di kisaran 40-60 persen. Nah di awal Maret anjlok jadi 20 persen. Di akhir Maret lebih parah lagi, sudah di bawah 10 persen," jelasnya kepada VOI, Sabtu 4 April.
Padahal menurut dia, jika dalam kondisi normal, pada bulan April itu hotel sedang ramai-ramainya. Okupansi di bulan Maret saat keadaan normal pun kata Krishnadi, harusnya sedang tinggi-tingginya.
BACA JUGA:
"Nah ini malah di bawah 10 persen. Bahkan saya yakin, sekarang sudah di bawah 5 persen. Jangankan menghitung persentase, ada yang menginap 1 sampai 10 pintu saja sudah bagus," ujar Krishnadi.
Alhasil, pengelola pun menutup sementara hotelnya. Itu juga dilakukan karena mengikuti imbauan pemerintah. Nah yang terdampak, adalah karyawan-karyawan yang harus dirumahkan, bahkan harus terkena PHK.
Menurut Krishnadi, terkait hal tersebut ia menyerahkan kebijakan kepada masing-masing pengelola hotel. Karena menurutnya, pengelola yang lebih tahu bagaimana kondisi keuangan perusahaan.
Meski dirinya sudah mendata berapa hotel yang tutup, namun ia mengaku belum mempunyai data berapa jumlah karyawan yang dirumahkan atau di-PHK.
"Untuk data berapa kerugian hotel dan berapa yang di-PHK, tentu itu masih dihitung oleh masing-masing pengelola," tuturnya.
Kompensasi
Terkait karyawan yang dirumahkan, pengelola hotel masih menanti insentif yang sedang digodok pemerintah. Krishnadi mengatakan, hingga saat ini, stimulus tersebut belum ada yang sampai ke tangan pengelola, karena masih dalam tahap pendataan karyawan yang berhak mendapat insentif.
"Seperti kita tahu, pemerintah mengeluarkan itu kan mesti dihutung lagi, masih ada Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis). Selama itu belum ada, kan eselon di bawahnya tidak bisa menurunkan begitu saja," jelasnya.
Seperti diketahui, pemerintah memperluas sektor usaha yang mendapatkan keringanan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21. Kebijakan tersebut tadinya hanya untuk pekerja di sektor manufaktur karena dihantam virus corona (COVID-19).
Namun Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan kebijakan tersebut diperluas untuk pekerja di sektor pariwisata dan penunjangnya, seperti transportasi dan sektor lainnya yang ikut terdampak pandemi COVID-19. PPh 21 akan ditanggung oleh pemerintah untuk pekerja dengan penghasilan maksimal Rp200 juta per tahun.
Biar bagaimanapun, seharusnya pengelola hotel mempunyai manajemen risiko, di mana pihak hotel harus memperhitungkan bagaimana mengantisipasi masalah yang mungkin terjadi salah satunya pandemi COVID-19 ini.
Manajemen risiko itu meliputi bagaimana mengelola tingkat okupansi hotel, marketing perhotelan, SDM atau karyawan, dan manajemen keuangan hotel dan hal lainnya yang berkaitan dengan hal tersebut.
Sehingga, jika terjadi hal-hal yang tak terduga seperti pandemi COVID-19 ini, pihak hotel akan mampu mengatasi atau meminimalisir dampak yang diterima. Sehingga antara pengelola dan karyawan dapat menemukan solusi terbaik yang tidak merugikan kedua belah pihak.
Yang Sudah Dilakukan Beberapa Hotel
Krishnadi menuturkan, saat ini hanya ada sebagian kecil hotel yang mampu bertahan di situasi tak pasti akibat pandemi COVID-19 ini. Mereka adalah, hotel-hotel yang mempunyai strategi seperti memberikan promo khusus.
"Ada juga yang ikut program pemerintah dengan menyewakan kamar bagi tenaga medis," kata Krishnadi.
Meski demikian, hotel-hotel yang memberi penawaran khusus untuk isolasi (karantina mandiri) sejauh ini belum menunjukkan peningkatan dari segi okupansi. Begitu juga dengan hotel yang ikut program pemerintah.
Pasalnya, kata dia, keberadaan petugas medis yang menangani pasien COVID-19 di hotel itu membuat konsumen lain khawatir tertular.
Pemprov DKI Jakarta tercatat menggandeng Perusahaan Daerah Jakarta Tourisindo untuk menyediakan empat hotelnya bagi lebih dari 600 tenaga medis yang menangani pasien COVID-19 di Ibu Kota. Kementerian Pariwisata menggandeng Accor Hotels Group yang memiliki empat aset, yaitu Novotel Cikini, Mercure Cikini, Ibis Styles Sunter, dan Ibis Cikini.
Adapun hotel di Ibu Kota yang menawarkan promo khusus di masa COVID-19 antara lain Swissbel-Hotel dan Hotel Aryaduta Jakarta. Swissbell-Hotel Jakarta dan Bali dalam laman resminya memiliki tiga promo khusus bagi konsumen yang ingin menyewa kamar dengan tarif murah selama masa penanganan Covid-19, yaitu Quarantine Package, Stay Longer Package, dan Stay Relax Package.
Namun, pada akhirnya Hotel Aryaduta --dalam data PHRI-- tercatat juga tutup per 1 April 2020. "Selama jumlah positif COVID-19 masih naik, tidak perlu ada lockdown-pun orang cenderung ingin berada di rumah saja," pungkas Krishnadi.