Bagikan:

JAKARTA - Hari ini 122 tahun yang lalu, 17 Maret 1900, organisasi modern Tionghoa Hwee Koang didirikan di Batavia. Hadirnya perkumpulan itu membawa mimpi besar. Sebuah mimpi supaya seluruh orang China peranakan dapat mengakses pendidikan.

Mereka membangun sekolah di mana-mana. Tujuannya tak melulu untuk berdaya, tapi juga sebagai medium menumbuhkan nasionalisme akan negeri asal. Dalam artian, mereka dapat mengenal lebih jauh budaya Tiongkok. Inilah pertama kalinya istilah "Tionghoa" yang berasal dari bahasa Hokkian, secara resmi digunakan. Kata itu lazimnya mengganti sebutan “China” yang dianggap kata penuh kebencian.

Eksistensi orang China di Nusantara telah dimulai sejak dulu kala. Kegiatan berdagang jadi awal mula kehadirannya. Kemudian, mereka  menjelma jadi aktor penting penggerak roda perekonomian di Nusantara. Sederet Raja Jawa telah mengakui kinerja mereka.

Demikian pula ketika maskapai dagang Belanda VOC. Sejak mula menancapkan kuasanya di bumi pertiwi, mereka telah bergantung dengan orang China. Gubernur Jenderal VOC yang pernah menjabat dua kali (1619-1623 dan 1627-1629) Jan Pieterszoon Coen mengamini hal itu.

Orang China di Batavia. (Foto: Wikimedia Commons)

Menurutnya, orang China adalah manusia dengan tingkat keuletan dan kerja keras yang tinggi. Sifat itu jelas akan membawakan keuntungan yang besar bagi Belanda. Hak istimewa ditebar oleh Coen kepada seluruh orang China yang mau berdiam di Batavia.

Semenjak itu, orang China menjadi aktor penting yang menggerakan roda ekonomi di Batavia. Mereka dapat menjelma menjadi apa saja. Dari tukang kayu hingga pedagang. Belanda pun makin terpukau. Orang Belanda pun menjaga hubungannya dengan sangat hati-hati. Ajian itu tak lain supaya orang China betah.

“Jan Pieterszoon Coen berpendapat bahwa hanya warga etnis Tionghoa saja yang bisa melayani VOC dengan baik. Warga etnis Tionghoa di Batavia memegang peranan penting dalam perkembangan kota Batavia di bawah sistem ekonomi VOC, baik perdagangan internal maupun eksternal. Hal ini sangat bermanfaat bagi penduduk Batavia untuk memperoleh bahan makanan,” ungkap Hembing Wijayakusuma dalam buku Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke (2005).

Pendidikan Diabaikan

Orang China boleh diuntungkan dengan kehadiran hak istimewa. Tapi tidak demikian dengan terjaminnya pendidikan. Kondisi itu berlangsung hingga berakhirnya VOC, dan dilanjutkan oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pendidikan untuk orang China adalah konsep yang dilupakan oleh pemerintah kolonial.

Kondisi itu memancing 20 orang dari kaum muda China peranakan untuk melakukan gebrakan pada 1900. Mereka mendirikan organisasi modern Tionghoa Hwee Koang di Petekoan, Batavia. Sebuah gebrakan yang mampu memberikan akses pendidikan kepada seluruh kaum China peranakan di Nusantara. Lebih lagi, gerakan itu dapat membangun nasionalisme di antara sesama China peranakan. Pebisnis Phoa Keng Hek adalah salah satu aktor intektualnya.

Masyarakat Tionghoa di Batavia. (Foto: Wikimedia Commons)

“Tionghoa Hwee Koan dibentuk pada 17 Maret 1900 untuk menjadi pusat bagi keseluruhan pergerakan (Tionghoa) untuk reformasi adat istiadat dan tradisi Tionghoa. Perkumpulan ini mendirikan sekolah yang dibuka di Jakarta tahun 1901. Mereka membentuk sekolah Tionghoa modern dengan tiga cara.”

“Pertama, bahasa pengajaran adalah bahasa Mandarin, bukan Hokkian atau dialek Tiongkok selatan lainnya. Kedua, mereka menggunakan kurikulum dari pendidikan Barat modern. Ketiga, kelas untuk perempuan segera dibuka dan, tahun 1928, sekolah di Batavia (dahulu disebut Jayakarta) menjadi sekolah untuk pelajar laki-laki dan perempuan,” tutup Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998 (2010).