JAKARTA - Pengaruh etnis Tionghoa dalam sejarah Indonesia tergolong besar. Apalagi soal perdagangan. Berbagai literasi menjelaskan orang Tionghoa hadir bahkan sebelum masa kejayaan Kerajaan Majapahit.
Tercatat, hubungan antara etnis Tionghoa dengan golongan atas dari Kerajaan Majapahit bermula dari kesukaan mereka terhadap barang-barang mewah hasil kreasi Negeri Tiongkok. Alhasil, momentum tersebut digunakan sebaik-baiknya oleh orang Tionghoa untuk datang berdagang ke Nusantara dengan membawa barang seperti sutra, porselen, dan sampang atau pernis.
Seperti diungkap sejarawan Inggris, Pater Carey dalam buku Orang Cina, Bandar Tol, Candu, & Perang Jawa (2008). Ia menjelaskan, orang Tionghoa yang awalnya hanya berdagang pernak-pernik dari Negeri Tirai Bambu, belakangan mulai betah. Beberapa di antaranya bahkan menetap.
“Pada puncak kejayaan kerajaan Hindu-Buddha, beberapa orang pegawai kecil (para penjaga gerbang tol), para awak perahu, serta pedagang-pedagang yang terdapat di sepanjang Kali Brantas tampaknya adalah orang-orang keturunan Tionghoa.”
Bahkan, tak sedikit pula dari mereka yang menetap lalu melangsungkan perkawinan dengan penduduk setempat sembari perlahan-lahan memeluk Islam. Tak heran, kesamaan agama membuat mereka melenggang dalam hubungan kerja sama di bidang perdagangan.
Untuk itu, selama berabad-abad selanjutnya, orang Tionghoa terus memainkan perannya yang amat penting dalam kehidupan ekonomi dan sosial di pedalaman Kerajaan-kerajaan Jawa. Kelak, lewat jerih payah mereka berdagang, pada abad ke-17 Kerajaan Mataram mendapatkan sumber pendapatan tahunan dari aktivitas berdagang orang Tionghoa, yang mana mereka lihai memperdagangkan beras dan kayu jati.
“Sesungguhnya, para penguasa Jawa membutuhkan orang Tionghoa dengan segala kegiatan mereka di bidang perdagangan. Kebutuhan akan peranan mereka ini tercermin dalam kedudukan administratif dan hukum istimewa yang diberikan kepada mereka.”
Dengan demikian, di setiap kota pelabuhan utama dan kota-kota perdagangan yang terletak di pinggir sungai, ditunjuklah syahbandar --mandor tol dan bea cukai-- khusus untuk komunitas pedagang Tionghoa. Setali dengan itu, Kerajaan Mataram pun turut merasa perlu membuat undang-undang lewat hukum tradisional orang Jawa guna melindungi orang Tionghoa.
Atas dasar itu, dijatuhkanlah denda alias uang darah sebanyak dua kali lipat bagi siapa saja yang kedapatan membunuh orang Tionghoa. Uniknya, denda tersebut ternyata jauh lebih besar dibanding jika ada yang kedapatan membunuh orang Jawa.
Belanda kepincut
Melihat kelihaian orang Tionghoa dalam berdagang, kongsi dagang Belanda VOC pun kepincut. Tepat, sehabis mengusai Jayakarta dan mengubahnya menjadi Batavia pada 1619. Gubernur Jenderal VOC yang pernah menjabat dua kali (1619-1623 dan 1627-1629) Jan Pieterszoon Coen, terang-terangan memuji orang Tionghoa dan menjadikan mereka sebagai mitra dagang.
Bernard H.M Vlekke dalam buku Nusantara (1961), dirinya mengungkap orang Tionghoa bagi Coen merupakan etnis yang suka bekerja keras dan tidak menyukai perang. Oleh sebab itu, sedari awal orang Tionghoa menjelma menjadi bagian penting dari penduduk Batavia.
Saking kepincutnya, Belanda berusaha merayu semua saudagar Tionghoa di Banten untuk pindah ke Batavia. Tapi, usaha ini ditentang keras oleh Sultan Banten, yang mengerti bahwa kalau orang Tionghoa pergi, perdagangan di Banten akan lenyap.
“Pada tahun pertama keberadaan Batavia, pemukim Tiongkok sudah berjumlah delapan ratus orang dan sepuluh tahun kemudian jumlah mereka meningkat menjadi dua ribu. Mereka bermata pencaharian pedagang dan mengunjungi pelabuhan dan pulau-pulau kecil di kepulauan Indonesia yang tidak terlalu penting untuk dikunjungi kapal-kapal Kompeni.”
Selain itu, orang Tionghoa di Batavia berprofesi sebagai nelayan, tukang jahit, tukang batu, dan tukang kayu. “Jadi, tak berlebihan mengatakan bahwa Batavia tidak mungkin berdiri tanpa orang Tionghoa,” tambahnya.
Menariknya, dalam mendatangkan orang Tionghoa ke Batavia, Coen pun melegalkan berbagai macam cara. Dari mulai merayu orang Tionghoa pindah ke Batavia dengan embel-embel janji pembebasan biaya tol dan cukai sampai 1 Oktober 1620.
Bahkan, memberikan perintah langsung kepada kepala kantor perwakilan di Jepang, Jacques Specx guna mendorong sebanyak mungkin migrasi orang Tionghoa ke Negeri yang berjuluk Ratu dari Timur Batavia.
“…Bila perlu dengan menggunakan kapal angkut kompeni. Jika mereka tidak bersedia melakukan perjalanan ke Hindia, dia harus berusaha memperkerjakan mereka pada Kompeni dengan masa percobaan,” ujar Johannes Theodorus Vermeulen dalam buku Tionghoa di Batavia dan Huru Hara 1740 (1938).
Tak hanya itu, Coen juga memerintahkan para pejabat kompeni untuk memperlakukan pedagang Tionghoa dengan baik di tempat-tempat netral, seperti Pattani, Siam (Thailand), Singapura. Bila perlu, pedagang dibujuk dengan cara memberikan pengangkutan gratis dalam skala besar.
Semua itu dilakukan oleh pemerintah kolonial dengan satu tujuan utama, yakni menggali keuntungan sebesar-besarnya. “Melalui pedagang Tionghoa ini Kompeni akan mendapatkan barang-barang Tiongkok yang sangat menguntungkan untuk dijual di Eropa serta meningkatkan pendapatan pajak di Batavia.”
BACA JUGA:
Sebaliknya, manfaat juga dirasakan oleh orang Tionghoa. Mereka menjadi bebas membawa sutra dan porselen Tionghoa yang bernilai tinggi, lewat jung-jung (kapal) yang berangkat ke Batavia. Maka, dapat dipastikan hubungan kedua-belah pihak secara paripurna menghadirkan simbiosis mutualisme.
Dalam kondisi tersebut, orang Tionghoa menjadi kerasan berada di Batavia. Sejarawan Ong Hok Ham dalam tulisannya di Majalah Tempo dengan judul Terbentuknya Kapitalisme di Kalangan Peranakan Tionghoa di Jawa (1978), mengungkap pengaruh orang Tionghoa dalam menghadirkan keuntungan ekonomi menjadikan mereka memiliki kedudukan politis yang kuat di Batavia.
“Sejak sekitar pertengahan abad ke-18 masyarakat peranakan Tionghoa menstabilkan diri. Mereka benar-benar jadi masyarakat tersendiri. Mereka tidak lagi terganggu oleh hasrat untuk kembali ke Tiongkok. Juga mereka tak bergaul dengan pendatang baru. Orang Tionghoa peranakan mengembangkan gaya dan kebudayaan Cina-Jawa-Belanda,” tutup Ong Hok Ham.