Presiden Soeharto Dukung Vanili Jadi Komoditas Ekspor dalam Sejarah Hari Ini, 21 Desember 1985
Vanili, tanaman yang diesbut sebagai "emas hijau" dan pernah didukung Presiden Soeharto menjadi komoditas ekspor andalan Indonesia. (vanili-indonesia.com)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 37 tahun yang lalu, 21 Desember 1985, Presiden Soeharto mendukung vanili jadi komoditas ekspor. Ia pun menginstruksikan Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras, Hasjrul Harahap untuk mencari daerah selain Bali untuk pengembangan tanaman vanili.

Upaya itu dilakukan Soeharto karena vanili asal Indonesia dapat bersaing di pasar internasional. Sebelumnya, Soeharto terkenal sebagai pemimpin yang kerap memajukan sektor pertanian dengan kebijakan-kebijakannya.

Soeharto tak pernah menyesali terlahir sebagai anak petani. Ia menganggap hal itu sebagai bentuk kebanggaan. Sebab, pengalaman jadi anak petani adalah pelajaran berharga ketika Soeharto menjabat orang nomor satu Indonesia.

Ia menjelma sebagai sosok yang mampu memajukan dunia pertanian tanah air. Niatannya tiada dua. Ia pun menyiapkan fasilitas penunjang hingga pusat pengembangan sumber daya manusianya. Semua dilakukan Soeharto dan Orde Baru (Orba) dengan penuh keseriusan.

Pengalaman Soeharto sebagai seorang anak petani dipakai seluruhnya. Pengalaman itu pula membuatnya mengetahui perkara hulu-hilir problema pertanian. Ia jadi dapat meramu berbagai macam kebijakan tepat guna dalam bidang pertanian.

Presiden Soeharto melangsungkan kunjungan ke proyek benih unggul Sang Hyang seri dan lembaga pusat penelitian pertanian LP3 Sukamandi, 09 Juni 1977. (Perpusnas)

Ketekunannya memajukan sektor pertanian akhirnya membuahkan hasil pada era 1980-an. Indonesia dapat menjelma sebagai salah satu pengimpor beras terbesar di dunia. Fakta itu membuktikan bahwa ajian Soeharto membangun dunia pertanian teruji.

“Sebagian prestasi Soeharto yang perlu dicetak tebal adalah keberhasilannya mencapai swasembada pangan, memasyarakatkan Keluarga Bencana (KB), serta membangun perumahan untuk rakyat. Sukses pangan melalui swasembada, bahkan bergaung sampai ke seluruh dunia.”

“Setelah berpuluh tahun menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia, pada 1984 – atau 17 tahun setelah Soeharto menduduki kursi presiden – Indonesia mampu memenuhi kebutuhan berasnya sendiri, dengan produksi sebanyak 25,8 juta ton. Bandingkan dengan masa-masa awal Orba, yang Cuma 12,2 juta ton,” tertulis dalam Harian Republika seperti disusun Sugiono M.P. dalam buku Selamat Jalan Pak Harto (2008).

Alih-alih hanya puas dengan mengembang komoditas beras semata, Soeharto juga turut mengembangkan komoditas lainnya. Vanili, misalnya. Tanaman yang kerap dijadikan pewangi makanan ini dipandangnya memiliki potensi besar meraih ceruk pasar internasional.

Nilai ekspornya tingginya. Ia pun ingin menyiapkan kebijakan untuk mendukung tumbuh kembang tanaman vanili di tanah air. Soeharto segara menginstruksikan Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras, Hasjrul Harahap untuk mencari kawasan potensial untuk ditanami vanili pada 21 Desember 1985.

Presiden Soeharto menyaksikan pameran Pelita Bidang Pertanian didampingi oleh menteri pertanian, Thojib Hadiwidjaja di Bina Graha Jakarta, 17 Maret 1971. (Perpusnas)

“Presiden Soeharto hari Sabtu 21 Desember 1985 menginstruksikan kepada Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras Hasjrul Harahap agar mencari daerah selain Bali untuk mengembangkan tanaman vanili. Hal itu diungkapnya setelah melihat keberhasilan Pulau Bali di bidang produksi vanili.”

“Produksi vanili Bali tahun 1984 tercatat 361 ton dan harganya 65-68 dolar AS per kilogramnya, dengan nilai ekspor vanili Bali dari Januari sampai Desember 1985 tercatat 3,7 juta dolar AS. Keberhasilan Bali mengembangkan produksi vanili karena iklim yang cocok, ketekunan petani, sistem kemasyarakatan setempat, disamping animo petani cukup besar juga didorong cukup baiknya pasaran internasional, dan hubungan langsung ke luar negeri dari Denpasar,” tertulis dalam Majalah Mimbar Kekaryaan ABRI edisi Januari 1986.