JAKARTA - Industri hiburan di zaman penjajahan Belanda tak banyak. Hiburan terbatas pada tontonan tradisional belaka. Adapun hiburan kekinian hanya dinikmati segelintir orang. Dari kaum hartawan hingga kulit putih. Seperti pemutaran film di bioskop, misalnya.
Film yang dikenal sebagai gambar idoep jadi hiburan populer di seantero Nusantara. Namun, kepopuleran film tak sebanding dengan diskriminasinya. Di bioskop, orang Eropa ditempatkan di kelas satu. Sedang kaum bumiputra di kelas hina: kelas kambing.
Tiada membutuhkan waktu lama bagi industri perfilman untuk merebut pasar Hindia-Belanda. Batavia, terutama. Sejak kehadirannya pada akhir abad ke-19, pemutaran sebuah film bisu acap kali jadi buah bibir. Promosi secara besar-besaran jadi musabab.
Ajian itu berhasil membuat segenap penduduk Batavia –dari orang Belanda sampai bumiputra-- tak sabar ingin menjadi saksi dimulainya era baru industri hiburan tanah Hindia. Investor pun berlomba-lomba membangun bioskop. Semuanya demi rayuan keuntungan besar yang mampu dijanjikan industri hiburan itu.
Saban hari film diputar, peminatnya makin bertambah. Sensasi nonton bioskop mampu menarik minat penikmat seni pertunjukan lainnya. Antara lain, tonil, sandiwara, dan komedi. Film-film yang disajikannya pun menarik. Kebanyakan berasal dari Negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Film yang dibuat pun banyak didominasi gambaran jagoan menembak, pembunuh bayaran, atau tokoh playboy.
Penonton begitu menikmati sekali gambar bergerak dari suatu film. Kondisi itu tercipta karena film masih didominasi film bisu. Film bisu membuat penikmatnya tak berfokus kepada cerita, tetapi pada gambar. Adegan-adengan kekerasan jadi ramuan dominan yang mampu mendatangkan penonton.
BACA JUGA:
“Di Hindia-Belanda sejak pertama kalinya film bisu dokumenter diperkenalkan pada akhir 1900. Keadaannya amat berbeda dari keadaan di Amerika Serikat. Perbedaan ini terletak dari segi penontonnya. Film di Hindia-Belanda, khususnya Batavia (Jakarta saat itu), justru bukan dipaket untuk mereka yang papa atau pun anak muda saja.”
“Untuk boleh tidaknya menonton, seseorang sangat bergantung pada perbedaan golongan dalam masyarakat yang sesuai dengan hukum pembagian penduduk. Ada bioskop Oriental di Batavia. Ada juga bioskop yang memutar film dengan pengaturan kursi penonton yang berbeda antara pribumi dengan Eropa. kemudian, ada pula sebuah bioskop yang mengadakan perbedaan letak tempat penonton pria dengan wanita,” ungkap M. Sarief Arief dalam buku Politik Film di Hindia-Belanda (2009).
Kelas Kambing
Kaum bumiputra memang antusias menanti film. Namun, seperti yang sudah-sudah tiap ada suatu kemajuan, kaum bumiputra kerap jadi objek diskriminasi. Misalnya, ketika kehadiran trem. Pemerintah kolonial sampai membuat kelas-kelas yang tersedia di dalam trem. Kelas utama jelas untuk orang Belanda. kaum bumiputra sebaliknya.
Mereka ditempatkan dengan binatang. Karenanya gerbong untuk kaum bumiputra sering kali disebut kelas kambing. Tak hanya itu, dalam dunia nonton bioskop pun kelas kambing dihadirkan. Menonton di kelas itu jelas tak nyaman. Apalagi kelas itu di berada di belakang layar. Alias penontonnya yang didominasi kaum bumiputra menikmati film dari belakang.
Soekarno, ketika masih bersekolah di Hoogere Burgerschool (HBS) Surabaya pada 1919-1922 ikut merasakan derita nonton di kelas kambing. Baginya yang memiliki keuangan terbatas, juga bukan seorang Eropa, menonton lewat kelas kambing jelas derita. Namun, ia tak punya pilihan. Kesukaannya akan film mengalahkan segalanya.
Di samping itu, Soekarno dan kawannya mengaku ada sesi baiknya. Mereka merasa keahliannya membaca tulisan Belanda secara terbalik semakin meningkat. Bekal itu membuat mereka kerasan menonton di kelas kambing. Satu-satunya masalah bagi Soekarno dan kawan-kawannya adalah ketika menonton sebuah film dokumenter yang mempertontonkan pertandingan tinju.
Konon, pertandingan tinju kelas berat itu tengah mempertemukan antara Jack Johnson vs James J. Jeffries. Besar kemungkinan film itu adalah The Johnson-Jeffries Fight keluaran tahun 1910. Dalam pertandingan itu, Bung Karno dan kawannya dibuat bingung dengan aksi saling-serang kedua petinju. Mereka kebingunan tangan mana daripada petinju yang kerap diandalkan.
“Ada lagi hiburan yang murah, yaitu bioskop dengan film bisu. Film bersuara baru muncul di Indonesia tahiun tigapuluhan. Karena bisu, penonton mengetahui jalai ceritanya dari teks yang disorotkan di layar putih, hal biasa bagi penonton yang duduk di depan layar. Tapi zaman dulu dalam bioskop masih ada juga kelas yang lebih murah lagi yaitu kelas IV (kelas kambing) yang terletak di belakang layar. Para penonton duduk di atas deretan papan kayu kasar. Harga karcisnya tidak lebih dari 11 sen gulden, termasuk 1 sen pajak tontonan. Nah, di situ tempat duduk kami, termasuk Soekarno.”
“Cobalah sekarang membaca teks film tadi dari belakang layar. Tidak gampang, karena huruf-hurufnya terbalik Tetapi lama kelamaan kesulitan ini pun dapat diatasi dengan membiasakan diri. Kendatipun demikian ada satu hal yang agak timpang rasanya. Tampak dalam film semua pemain kidal, mereka menulis dengan tangan kiri, bersalaman dengan tangan kiri, pegang sendok dengan tangan kiri, dan seterusnya,” cerita Herman Kartowisastro, teman dekaT Soekarno ketika bersekolah di HBS dalam buku Kisah Istimewa Bung Karno (2010).