Bagikan:

JAKARTA – Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) diduga mengalami doxing seusai merespons rilis dari Organized Crime Corruption Reporting Project atau OCCRP yang memasukkan Joko Widodo (Jokowi) dalam daftar pemimpin korup 2024. Doxing ini, menurut ICW, dianggap sebagai bagian upaya pembungkaman dan pembatasan suara kritis publik.

Mengutip Tempo, doxing adalah tindakan menemukan atau menemukan informasi pribadi tentang seseorang di internet tanpa izin mereka sebagai bentuk hukuman atau balas dendam.

Praktik doxing biasanya mencakup informasi pribadi seperti alamat, nomor telepon, alamat email, nomor kartu kredit, atau informasi lain yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi atau merusak reputasi seseorang.

Koordinator ICW Agus Sunaryanto mengatakan, data-data pribadi peneliti ICW sudah dipublikasi dan kini pihaknya berencana melaporkan dugaan doxing ini ke aparat penegak hukum.

Kecewa Jokowi Tak Jadi Pemenang

ICW cukup aktif merespons rilis OCCRP yang menyebut Presiden Ketujuh Republik Indonesia Jokowi dalam daftar hitam nominasi tokoh terkorup tahun 2024. Ia bersanding dengan Presiden Kenya William Ruto, Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu, eks Perdana Menteri Bangladesh Hasina, dan pengusaha dari India Gautam Adani.

Pemimpin sekaligus salah satu pendiri OCCRP Drew Sullivan mengungkapkan, pemimpn negara yang korup itu perlu dipublikasikan karena mereka dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM). Pemerintahan yang korup akan membuat konflik karena ketidakstabilan di suatu negara.

Rilis ini menjadi pembahasan di media massa nasional dan tentu saja membuat gaduh warga. ICW termasuk yang vokal mengomentarinya. Koordinator Divisi Pengelolaan Pengetahuan ICW Wana Alamsyah mengaku tidak terkejut dengan masuknya nama Jokowi dalam daftar Kejahatan Terorganisir dan Korupsi 2024 versi OCCRP.

“ICW justru terkejut karena Jokowi tidak menjadi pemenang. Karena memang ada sejumlah alasan untuk itu,” kata Wana ketika dihubungi VOI.

Sekitar 1000 orang dari Koalisi Indonesia Menggugat Plus Jember berunjuk rasa di bundaran DPRD Jember, Jumat siang (23/8/2024). (ANTARA/Zumrotun Solichah)

Wana pun menjabarkan sejumlah “dosa” Jokowi selama menjabat sebagai presiden dua periode. Sejak terpilih sebagai orang nomor satu pada 2019, ada sejumlah peristiwa yang dinilai sebagai upaya menghancurkan pemberantasan korupsi.

Rentetan peristiwa yang dimaksud Wana adalah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), revisi Undang-Undang KPK, pemecatan 57 orang di KPK.

“Puncaknya adalah anaknya (Gibran Rakabuming Raka) didorong menjadi wakil presiden dan adanya upaya revisi UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk memuluskan Kaesang,” Wana melanjutkan.

Selain itu, Wana menyebut Jokowi mempersempit pengertian korupsi hanya terkait kasus-kasus hukum setelah mantan Wali Kota Solo itu menuntut bukti-bukti dirinya melakukan korupsi seperti yang disebutkan OCCRP.

Korupsi, kata Wana, jangan hanya dipandang sebagai kerugian uang negara. Secara umum, korupsi adalah upaya sistematis memberikan keuntungan materil atau imateril seseorang atau kelompok untuk kepentingan pribadi melalui penyalahgunaan wewenang.

Ia mencontohkan dua aturan yang coba dikondisikan oleh Jokowi, misalnya Omnibus Law Cipta Kerja yang diproses begitu cepat tanpa partisipasi warga serta UU Minerba, di mana orang dalam bisa mendapat konsesi.

“Apakah ini korupsi? Secara internasional ini adalah kejahatan karena tidak melalui proses yang sesuai aturan. Jadi bukan ‘cuma’ dosa korupsi tapi implikasi dari kebijakan ini menyebabkan kerusakan,” tegas Wana.

Seharusnya jadi Alarm 

Jokowi, menurut Wana, tidak memiliki pemahaman definisi korupsi secara luas. Dalam kacamata hukum Indonesia, aksi seperti yang disebutkan di atas belum tentu terdapat kerugian uang negara, serta terjadi suap atau gratifikasi yang bisa dibuktikan dengan terang. Namun dalam teori korupsi, aksi ini bisa dikategorikan sebagai dugaan korupsi terhadap sistem hukum yang pada akhirnya berimplikasi pada sejumlah sektor.

“Korupsi perlu dilihat dengan kacamata yang lebih besar, seperti grand corruption yaitu sejumlah upaya sistematis yang dilakukan rezim untuk kepentingan pribadi atau keluarga lewat cara yang tidak sesuai,” tegasnya.

“Contohnya upaya revisi UU Pilkada. Dalam konteks ini belum tentu korupsi (merugikan uang negara). Tapi kemudian implikasinya adalah sistem hukum yang rusak dari apa yang dilakukan Jokowi,” kata Wana lagi.

Ia pun tidak menampik adanya doxing yang dialami anggota ICW setelah mereka secara vokal mengkritik Jokowi. Adanya doxing terhadap pihak yang mengkritik Jokowi justru patut dilihat sebagai penguat bahwa Jokowi layak masuk nominasi yang diinisiasi OCCRP tersebut. Doxing semacam ini tidak akan muncul dan terulang di negara dengan iklim demokrasi yang sehat.

Koordinator ICW Agus Sunaryanto menegaskan, doxing ini patut dilihat sebagai bagian dari upaya pembungkaman dan pembatasan suara kritis publik.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Bus 2024 Roadshow di Kabupaten Lebak melakukan sosialisasi dan edukasi pencegahan korupsi melalui film di alun-alun Rangkasbitung. (ANTARA/Mansur)

Semestinya, menurut Agus, kritik terhadap Jokowi karena masuk dalam nominasi OCCRP dijadikan sebagai alarm pembenahan upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air. Apalagi, ia menilai selama dua periode kepemiminan Jokowi justru terjadi kemunduran terhadap pemberantasan korupsi dan demokrasi.

Ia menyinggung ihwal pelemahan lembaga antirasuah, yang dibuktikan menurunnya nilai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia hingga menguatnya politik dinasti.

"Adanya doxing terhadap pihak yang mengkritik Jokowi justru patut dilihat sebagai penguat bahwa Jokowi layak masuk nominasi OCCRP," ucap Agus.

Agus mendesak para penegak hukum agar proaktif menyelidiki pemilik akun yang melakukan tindakan intimidasi terhadap peneliti ICW tersebut. Sebab, ia khawatir upaya doxing atau serangan digital ini bakal dialami oleh masyarakat lain yang juga mengkritik.