Hasil Litbang Kompas Sebut 48,2 Persen Masyarakat Tak Puas dengan KPK, Desakan Terbitkan Perppu Dinilai Relevan
Gedung KPK/Foto: Antara

Bagikan:

JAKARTA - Survei Litbang Kompas mencuplik 48,2 persen masyarakat tak puas dengan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Atas hasil ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai desakan untuk menerbitkan Perppu KPK perlu kembali disuarakan karena relevan dengan kondisi kekinian.

Survei Litbang Kompas mengungkap sebesar 48,2 persen masyarakat tak puas dengan kinerja komisi antirasuah. Ketidakpuasan ini muncul karena beberapa hal.

Sebanyak 34,3 persen responden menyebut ketidakpuasaan ini muncul karena kinerja Dewan Pengawas KPK tak optimal; 26,7 persen karena turunnya jumlah OTT; 18,7 persen menyebut banyak kontroversi; dan 11,1 persen tak puas karena citra pimpinan.

Adapun survei ini dilakukan pada 22-24 Februari yang diikuti 506 responden. Pengumpulan pendapat melalui telepon dan sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang Kompas sesuai proporsi jumlah penduduk di tiap provinsi.

Tingkat kepercayaan survei ini mencapai 95 persen, nirpencuplikan penelitian kurang lebih 4,36 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.

Mendesak Perppu dianggap relevan

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengaku tak kaget dengan hasil survei itu. Apalagi, melihat kondisi KPK saat ini.

Tak hanya itu, pegiat antikorupsi ini menilai kondisi komisi antirasuah sudah berada di ujung tanduk. Tak hanya itu, dia menganggap KPK mulai terjerumus ke arah yang keliru.

"ICW tidak tentu tidak kaget mendengar dan membaca hasil jejak pendapat Libang Kompas terkait tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja KPK," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Senin, 21 Maret.

"Kondisi lembaga antirasuah benar-benar berada di ujung tanduk bahkan besar kemungkinan telah trejerumus ke arah yang keliru. Semua ini tak lain merupakan buah atas kinerja buruk seluruh Komisioner KPK dan anggota Dewan Pengawas," imbuhnya.

Selain itu, Kurnia menilai sebenarnya sudah banyak kritik yang disampaikan publik kepada KPK tapi sayangnya tidak digubris. Bahkan, alih-alih menjalankan kritik, pimpinan KPK sekarang justru larut dalam kontroversinya.

Lebih lanjut, Kurnia menilai persepsi masyarakat terhadap komisi antirasuah itu akan sulit untuk diselamatkan. "Sederhananya, bagaimana mungkin masyarakat akan percaya dengan kerja KPK jika dua pimpinannya saja sudah terbukti melanggar kode etik," ujar Kurnia.

Sehingga, saat ini, publik dirasa tinggal menunggu pergantian pimpinan untuk bisa kembali percaya pada KPK.

"Jalan satu-satunya adalah menunggu pergantian pimpinan KPK untuk memitigasi orang-orang bermasalah masuk dan terpilih sebagai komisioner," ungkapnya.

Selain itu, ICW menilai penting bagi semua pihak untuk kembali menggaungkan penerbitan Perppu KPK. Tujuannya, UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 hasil revisi kembali seperti sedia kala.

"Desakan Perppu agar mengembalikan UU KPK seperti sedia kala menjadi kembali relevan untuk digaungkan," tegas Kurnia.

Sementara itu, KPK telah memberikan tanggapan perihal hasil survei ini. Plt Juru Bicara KPK Bidan Penindakan Ali Fikri mengapresiasi tapi juga mengingatkan pemberantasan korupsi sebenarnya tak bisa diukur dari jumlah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan.

"KPK juga penting memberikan tambahan pemahaman masyarakat bahwa capaian kinerja pemberantasan korupsi tidak hanya soal seberapa banyak pelaku korupsi yang tertangkap tangan oleh KPK," kata Ali dalam keterangan tertulisnya.

Ali mengatakan, penilaian dari survei memang diperlukan untuk melakukan perbaikan. "Terlebih, publik adalah stakeholder utama penerima manfaat atas hasil kerja KPK," tegasnya.

"Namun, keberhasilan pemberantasan korupsi juga penting diukur dari seberapa mampu kita menutup titik rawan korupsi dan seberapa bisa kita menyadarkan masyarakat agar tidak melakukan korupsi," imbuh Ali.

Dia juga menegaskan lembaganya kini tak hanya fokus pada penindakan atau pencegahan tapi juga pendidikan. Bahkan, KPK secara konsisten mengukur capaian pemberantasan korupsi, salah satunya melalui Survei Penilaian Integritas (SPI).

Dari hasil SPI ini, sambung Ali, banyak instrumen rekomendasi perbaikan yang dihasilkan. Sehingga, survei ini bisa berdampak sistemik bagi upaya pencegahan korupsi secara implementatif yang bisa diterapkan oleh setiap kementerian, lembaga, pemerintah daerah, serta instansi lainnya yang diukur.

"Kita patut optimis atas kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia," pungkasnya.