JAKARTA - Tiga mantan agen intelijen Amerika Serikat (AS) yang bekerja sebagai mata-mata dunia maya untuk Uni Emirat Arab (UEA), mengaku melanggar undang-undang peretasan AS dan larangan menjual teknologi militer sensitif, di bawah kesepakatan untuk menghindari penuntutan yang diumumkan pada Selasa.
Ketiga mantan agen intelijen, Marc Baier, Ryan Adams dan Daniel Gericke, adalah bagian dari unit klandestin bernama Project Raven, yang pertama kali dilaporkan oleh Reuters, guna membantu UEA memata-matai musuh-musuhnya.
Atas perintah monarki UEA, tim Project Raven meretas akun aktivis hak asasi manusia, jurnalis, dan pemerintah saingan, lapor Reuters.
Ketiga pria itu mengaku meretas jaringan komputer di Amerika Serikat, mengekspor alat intrusi dunia maya yang canggih tanpa mendapatkan izin yang diperlukan dari Pemerintah AS, menurut dokumen pengadilan yang dirilis di pengadilan federal AS di Washington, D.C., Selasa waktu setempat.
Operator dan pengacara mereka tidak menanggapi permintaan komentar. Sementara, Kedutaan Besar UEA di Washington, D.C., tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Sebagai bagian dari kesepakatan dengan otoritas federal untuk menghindari penuntutan, ketiga mantan agen intelijen setuju untuk membayar denda gabungan senilai 1,69 juta dolar AS, serta tidak pernah lagi mencari izin keamanan AS, persyaratan untuk pekerjaan yang memerlukan akses ke rahasia keamanan nasional.
"Peretas yang disewa dan mereka yang mendukung kegiatan semacam itu yang melanggar hukum AS harus sepenuhnya berharap untuk dituntut atas tindakan kriminal mereka," Penjabat Asisten Jaksa Agung Mark J. Lesko untuk Divisi Keamanan Nasional Departemen Kehakiman mengatakan dalam sebuah pernyataan, mengutip Reuters Rabu 15 September.
'Revelations of Project Raven' pada tahun 2019 oleh Reuters, menyoroti praktik yang berkembang dari mantan agen intelijen yang menjual mata-mata mereka ke luar negeri dengan sedikit pengawasan atau pertanggungjawaban.
"Ini adalah pesan yang jelas kepada siapa saja, termasuk mantan pegawai Pemerintah AS, yang telah mempertimbangkan menggunakan dunia maya untuk memanfaatkan informasi yang dikendalikan ekspor untuk kepentingan pemerintah asing atau perusahaan komersial asing. Ada risiko, dan akan ada konsekuensi," tegas Asisten Direktur Bryan Vorndran dari Divisi Cyber FBI dalam sebuah pernyataan.
Terpisah, Lori Stroud, mantan analis Badan Keamanan Nasional AS yang bekerja di Project Raven dan kemudian bertindak sebagai pelapor, mengatakan dia senang melihat dakwaan tersebut.
"Katalis paling signifikan untuk mengungkap masalah ini adalah jurnalisme investigasi, informasi teknis tepat waktu yang dilaporkan menciptakan kesadaran dan momentum untuk memastikan keadilan," tukasnya.
Untuk diketahui, investigasi Reuters menemukan bahwa Project Raven memata-matai banyak aktivis hak asasi manusia, beberapa di antaranya kemudian disiksa oleh pasukan keamanan UEA.
Mantan pelaksana program mengatakan, mereka yakin mereka mengikuti hukum karena atasan berjanji kepada mereka, Pemerintah AS telah menyetujui pekerjaan itu.
BACA JUGA:
Baier, Adams dan Gericke mengaku menggunakan senjata siber canggih yang disebut 'Karma', yang memungkinkan UEA meretas iPhone Apple tanpa memerlukan target untuk mengklik tautan berbahaya, menurut dokumen pengadilan.
'Karma' memungkinkan pengguna untuk mengakses puluhan juta perangkat dan memenuhi syarat sebagai sistem pengumpulan intelijen di bawah aturan kontrol ekspor federal. Tetapi, para operator tidak mendapatkan izin pemerintah AS yang diperlukan untuk menjual alat itu ke UEA, terang pihak berwenang.
Project Raven menggunakan Karma untuk meretas ribuan target, termasuk seorang aktivis hak asasi manusia Yaman pemenang Hadiah Nobel dan pembawa acara televisi BBC.