Mahfud MD Singgung 10 Kasus Korupsi Besar di Papua, Firli: Proses Pemeriksaan di KPK Sedang Berjalan
Gedung KPK (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyebut pihaknya telah mengusut adanya dugaan kasus korupsi di Papua, terutama yang berkaitan dengan dana otonomi khusus.

Hal ini disampaikannya setelah Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyinggung ada kasus korupsi besar di Papua. Jumlahnya pun cukup banyak, yaitu 10 kasus.

"Kami ingin sampaikan, apa yang dilakukan KPK sedang berjalan. Mohon maaf saya tidak bisa sebut satu persatu perkaranya," kata Firli dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 20 Mei.

Meski begitu, dia berjanji akan terbuka terkait proses penanganan kasus ini. Terutama, kasus yang berkaitan dengan pemanfaatan dana otonomi khusus.

"Pada saatnya akan kami sampaikan sejauh mana penanganan perkara yang terjadi di daerah-daerah yang memperoleh dana otonomi khusus," tegasnya.

Eks Deputi Penindakan KPK ini memastikan akan memberantas korupsi. Sebab, KPK punya tujuan untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.

"Prinsip kita adalah kita ingin menyejahterakan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote, tidak ada yang tertinggal. Itulah semangat dari kebijakan otonomi khusus," ungkap Firli.

"Jadi KPK mendukung kebijakan pemerintah terkait dengan pemberlakuan otonomi khusus," imbuhnya.

Menko Polhukam Mahfud MD mengungkap pemerintah menemukan ada 10 kasus korupsi besar yang terjadi di Papua. Selanjutnya, pemerintah bakal menindak pelaku praktik lancung tersebut.

Temuan ini didapatkan dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Intelijen Negara.

"Kita sudah punya 10 kasus korupsi besar yang juga ini akan dilakukan penegakan hukum terhadap mereka," kata Mahfud kepada wartawan, Rabu, 19 Mei.

Selain itu, eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini juga mengaku mendengar sejumlah pihak yang menganggap penghasilan pajak Papua dilimpahkan untuk keperluan negara. Namun, Mahfud menegaskan hal tersebut tidak benar.

"Sering orang menggunjingkan pajak Papua kaya. Direkrut hartanya untuk keperluan negara, Papua miskin, tidak kebagian. Itu tidak benar," ungkapnya.

Mahfud menjabarkan data untuk membuktikan bantahan tersebut. Kata dia, pendapatan dari pajak Papua, baik perusahaan Papua yang beroperasi di Jakarta maupun beroperasi di Papua sendiri, pendapatannya sebesar Rp12,6 triliun. Sementara, anggaran belanjanya sebesar Rp46,1 triliun. 

Lalu, pendapatan pajak dan bea cukai di Papua Barat Rp5,5 triliun. Sedangkan, belanjanya yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat Rp19,2 triliun.

Dengan demikian, Mahfud menganggap tidak mungkin pemerintah mengeruk kekayaan Papua ketika anggaran belanja lebih besar dari pendapatan.

"Itu kebijakan umum, pemerintah tetap melakukan kebijakan kesejahteraan, damai tanpa kekerasan dan tanpa bedil atau senjata. Itu prinsip dasarnya," ujar Mahfud.