Bagikan:

JAKARTA - Analis Politik Pangi Syarwi Chaniago, mengatakan, bergulirnya isu perpanjangan periode masa jabatan presiden bukan hal baru. Wacana ini sudah diembuskan berbarengan dengan usulan amandemen ke-5 UUD 1945 yang selama ini belum berhasil.

"Wacana amandemen ke-5 sebenarnya sudah lama didorong oleh banyak kalangan, alasannya mengingat banyak sektor yang memerlukan perbaikan mendasar yang hanya bisa ditempuh lewat jalur amandemen UUD1945," ujar Pangi kepada VOI, Rabu 17 Maret.

Namun lanjut dia, usulan-usulan tersebut belum digagas dengan serius dan kerja politik yang nyata. Pasalnya, amandemen dianggap belum menjadi agenda mendesak dan kebutuhan rakyat.

"Amandemen belum komprehensif. Amandemen hanya baru masuk isu elite dan kepentingan kekuasaan semata," kata Pangi.

Begitu juga halnya dengan masa jabatan presiden. Dia menilai agenda ini disisipkan dan bergulir menjadi wacana publik yang menuai pro dan kontra. 

"Jika kita berkaca pada pelbagai usulan terkait amandemen yang belum disepakati agendanya apa saja. Maka tidak mustahil perubahan masa jabatan presiden akan menjadi agenda sisipan yang justru akan menjadi target utama kelompok tertentu, pasal selundupan yang didesain para cukong, oligarki dan pemilik modal," papar Pangi.

Apa perlu amandemen terbatas UUD 1945? Pangi mengingatkan agar usulan ini bukan bermaksud memuluskan kepentingan tertentu. 

"Kita ingatkan kembali, jangan sampai lembaga negara dan haluan negara terjebak membahas kepentingan orang per-orang yang ingin melanggengkan kekuasaannya," katanya.

Bila dipaksakan melakukan amandemen kelima UUD 1945, maka wacana jabatan presiden 3 periode disebut  tidak layak masuk pembahasan.

"Selain agenda ini tidak penting dan substansial, usulan ini mempertontonkan kebodohan dan ambisi politik kotor yang dulu pernah menyeret kita kepada jurang otoritarianisme," tegas Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting itu.

Pangi menegaskan, usulan wacana tersebuttidak layak dan bertentangan dengan tujuan reformasi yang menginginkan adanya pembatasan masa jabatan presiden. 

"Khitah perjuangan sistem presidensial purifikasi kita adalah membatasi masa jabatan presiden," katanya.

Apalagi hingga isu ini kembali bergulir, masyarakat tidak pernah mendengar alasan substantif dan rasional mengapa masa jabatan presiden harus diperpanjang. 

"Kita butuh alasan yang lebih masuk akal (commen sense) bukan menggiring perdebatan dan wacana politik ke dalam dukung-mendukung layaknya oposisi versus pemerintah atau perdebatan pilpres lalu yang tidak produktif dan minus argumentatif," tuturnya.

Tapi menurut dia, publik mencurigai isu jabatan presiden 3 periode dipersiapkan dengan serius meski tak punya landasan kuat.

"Lalu mengapa wacana penambahan masa jabatan presiden dihembuskan setiap tahun? Saya menaruh hormat sama presiden yang statement dan komentar serta hak jawabnya tetap konsisten dan tak berubah sampai hari ini. Ini sudah menjadi rekam jejak digital," ungkap dia.

"Jangan sampai seperti peristiwa masa lalu, tawaran datang menjadi capres, awalnya nggak tertarik, belum terpikirkan, belum berminat, tiba-tiba real menjadi calon presiden," imbuhnya.

Kecurigaan ini, menurutnya, bisa dibaca dari beberapa langkah politik pemerintah yang mengarah pada akumulasi kekuatan politik yang absolut dengan menggalang dan membangun koalisi gemuk dan mematikan oposisi, penguasaan terhadap media massa dan new-media (medsos, red), pembentukan wacana publik dan pengiringan opini publik. 

"Cek ombak atau testing the water sudah dimulai, untuk in zoom respon pendapat publik melihat takaran level pro dan kontra di tengah masyarakat terhadap wacana tersebut," beber pengamat politik asal Sumatera Barat itu.

Selain itu, menurut Pangi, merujuk pada semua langkah yang telah dilakukan maka amandemen UUD 1945 sangat mungkin dan mudah untuk dilaksanakan. 

"Bagaimana tidak, parlemen sudah dikuasai, oposisi antara ada dan tiada, wacana sudah dipersiapkan untuk menggiring opini publik dengan penguasaan media. Presiden 3 periode, MPR tinggal ketok palu!," tegas Pangi.

Soal presiden yang menolak, hal itu bagi Pangi bukan variabel utama dan penting. Sebab jika konstitusi sudah dirubah dan dengan ungkapan yang sama peristiwa penguasa sebelumnya "ini atas kehendak rakyat" semua akan berubah, yang awalnya pura-pura malu pada akhirnya juga mau.

"Pertanyaan sederhana, terkait beberapa hari yang lalu, komentar presiden yang mengatakan 'konstitusi mengamanahkan 2 periode, itu harus kita jaga bersama sama', bagaimana jika tiba-tiba konstitusi diubah?," kata Pangi.