Bagikan:

JAKARTA - Sejumlah narasumber dari kalangan aktivis dan pegiat media sosial yang diundang Tim Kajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyebut revisi UU ini penting dilakukan.

Sebab, sejak awal kemunculannya telah banyak menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

Meski begitu, pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi menyebut muncul keraguan di kalangan pengguna media sosial terkait pelaksanaan revisi UU ITE yang masih digodok sampai saat ini.

Ismail merupakan salah satu dari belasan narasumber dari kalangan pegiat media sosial yang dipanggil Tim Kajian UU ITE yang digagas oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam). 

Saat memaparkan penjelasannya dengan tim kajian tersebut, Ismail mengatakan, dari analisa di media sosial, publik merespons cukup baik terhadap rencana pemerintah merevisi undang-undang tersebut. Meski begitu, keraguan publik muncul akan dilakukannya atau tidak revisi tersebut.

"Ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk serius menindaklanjuti pernyataan presiden, tidak hanya dengan membuat petunjuk implementasi, tetapi dengan revisi seperti masukan banyak pihak," kata Ismail Fahmi dalam keterangan tertulis dari Tim Kajian UU ITE Kemenko Polhukam, Rabu, 10 Maret.

Permintaan revisi UU ITE juga diungkap oleh Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto. Menurutnya, revisi UU ITE perlu dilakukan untuk melindungi hak digital warga masyaraka karena aturan yang tertuang dalam UU ITE saat ini, belum memberi rasa keadilan di hilir. 

Damar juga mengatakan, banyak ditemukan sejumlah persolan akibat UU ITE yang memiliki banyak pasal karet ini. 

"Berdasarkan riset CSIS UU ITE dalam perjalanannya menimbulkan konseskuensi yang tidak diinginkan, yaitu dampak sosial dengan meluasnya efek jera, dan dipakai untuk balas dendam, barter kasus, shock terapy, membungkam kritik dan persekusi. Sementara dalam politik, para politisi dan penguasa menggunakan UU ITE untuk menjatuhkan lawan-lawannya," ungkapnya.

Narasumber lain dalam pertemuan tersebut, yaitu artis sekaligus pegiat media sosial, Deddy Corbuzier juga menyampaikan keprihatinannya dan menceritakan bagaimana pengalamannya hampir tiga kali dijerat UU ITE. Sehingga, dia menyebut pasal dalam perundangan ini absurd dan pelaksanaannya lucu.

"UU ITE memiliki tujuan yang baik tapi  dalam pelaksanaannya sedikit lucu. Pasalnya agak absurd. Saya tiga kali kena pemeriksaan UU ITE. Namun untungnya masih lolos," kata Deddy.

Menanggapi semua masukan tersebut, Ketua Tim Kajian UU ITE Sugeng Purnomo mengatakan semua saran dan masukan narasumber akan dikumpulan dan dijadikan bagian laporan dari tim. Selanjutnya, laporan tersebut akan diserahkan kepada Mahfud MD. 

"Masukan dalam diskusi lsangat bermanfaat bagi sub tim satu maupun sub tim dua di dalam menyusun kajian yang menjadi bagian laporan paripuna dari tim," ungkapnya.

Diketahui, forum group discussion (FGD) kali ini terbagi jadi dua sesi. Pada sesi pertama, hadir sebagai narasumber Damar Juniarto Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Remy Hastian Koordinator Pusat BEM SI, Pegiat sosial media Deddy Corbuzier, Savic Ali Tokoh Muda NU, Anita Wahid Presidium Masyarakat Anti Fitnah Inodnesia (Mafindo), Ismail Hasani Direktur Eksekutif Setara Institute, dan Andreas N Marbun Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS).

Sementara di sesi ke dua FGD dihadiri Ismail Fahmi Founder Drone Emprit, Erasmus Napitupulu Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Usman Hamid Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Wahyudi Djafar Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), pegiat sosial media Ferdinand Hutahaean dan Jane Aileen peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) dan Teddy Sukardi. 

Selanjutnya, Tim Kajian Undang-undang ITE akan kembali menggelar diskusi pada hari Rabu, 10 Maret atau hari ini. Tim bentukan Mahfud MD ini bakal menghadirkan narsumber dari unsur media. Sejumlah asosiasi media yang terkonfirmasi hadir antara lain, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan LBH Pers.