Bagikan:

JAKARTA - Junta Militer Myanmar terus melakukan langkah-langkah strategis, untuk memantapkan posisinya usai melakukan kudeta pada 1 Februari lalu. Salah satu perhatian militer Myanmar adalah masalah teknologi informasi, khususnya jaringan internet.

Kendati mampu mengontrol media, terkait dengan kudeta yang dilakukan pekan lalu, militer Myanmar tidak bisa melakukan pembatasan terhadap akses dan penyebaran informasi melalui layanan internet, khususnya di media sosial seperti Twitter dan Facebook yang banyak dipakai untuk mengabarkan kondisi terkini di Myanmar. 

Terbaru, Junya Militer Myanmar dilaporkan meminta komunitas TI untuk meninjau rancangan undang-undang dunia maya baru yang akan membatasi hak digital, kebebasan berbicara dan akses ke informasi online di Myanmar. Di bawah hukum, semua data elektronik individu akan diawasi oleh rezim.

Penyedia layanan internet akan diinstruksikan untuk menyimpan data setiap pelanggan termasuk alamat protokol internet, nomor telepon, nomor identifikasi nasional, alamat, dan riwayat aktivitas selama tiga tahun, sesuai dengan tagihan. 

"Pihak berwenang juga dapat mengakses informasi di akun media sosial individu pribadi kapan saja. Mereka juga bisa mencegat pesan obrolan yang dikirim melalui platform media sosial, jika mereka mendeteksi aktivitas yang mencurigakan," menurut pakar TI melansir The Irrawaddy.

Seorang pemilik perusahaan TI yang meminta untuk tidak disebutkan namanya mengatakan, hanya China yang memiliki teknologi yang diperlukan untuk mendukung firewall semacam itu untuk rezim militer. Perusahaan TI harus mengikuti undang-undang cyber baru jika diberlakukan.

“Di bawah undang-undang baru, perusahaan TI wajib memberikan data penggunanya kepada pihak berwenang. Tidak ada yang akan aman, kita semua akan diawasi (Junta Militer). Itu kekhawatiran terbesar saya,” paparnya.

Kecurigaan terhadap kemungkinan keterlibatan China dalam membangun firewall untuk Junta Militer Myanmar semakin kuat, setelah pengguna media sosial Myanmar menerbitkan daftar lima penerbangan kargo dari Kunming, ibu kota Provinsi Yunan, China yang tiba di Bandara Internasional Yangon pada hari Selasa. 

Daftar itu menjadi viral, dengan pengguna media sosial berspekulasi bahwa China mengirim teknisi TI untuk membantu militer Myanmar membangun firewall.Ini membuat massa pengunjuk rasa sempat menggelar aksi di depan Kedutaan Besar China di Yangon, meminta negara tersebut berhenti mendukung Junta Militer Myanmar.

China pun menolak tuduhan yang menyebutkan mereka membantu militer Myanmar membangun firewall untuk memblokir media sosial, mesin pencari populer termasuk Google dan jaringan pribadi virtual (VPN).

Kedutaan Besar China membagikan pernyataan dari Kamar Dagang Perusahaan China yang mengatakan rumor itu salah. Kedutaan Besar China meminta masyarakat di Myanmar untuk tidak menyebarkan rumor di media sosial.

Penyataan tersebut menerangkan, bahwa penerbangan antara China dan Myanmar adalah penerbangan kargo reguler dan hanya membawa barang impor seperti makanan laut. 

Kementerian Luar Negeri China pun dalam pengumumannya membantah, rumor-rumor terkait dengan dukungan atau bantuan apa pun untuk kudeta yang dilakukan Junta Militer Myanmar.

“Teori yang relevan tidak benar. Sebagai negara tetangga Myanmar yang bersahabat, kami berharap semua pihak di Myanmar dapat menyelesaikan perbedaan mereka dengan tepat, dan menegakkan stabilitas politik dan sosial," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Wang Wenbin, seperti melansir Reuters.

Untuk diketahui, pekan lalu junta militer melarang Facebook, Twitter dan Instagram, situs media sosial paling populer di kalangan rakyat Myanmar, setelah gerakan pembangkangan sipil melawan kudeta militer muncul di platform tersebut.