Karyawan Sebut Perusahan Minyak Prancis Total Masih Berhubungan dengan Rezim Militer Myanmar

JAKARTA - Perusahaan minyak asal Prancis, Total, masih memberikan pendapatan yang signifikan kepada dewan militer yang berkuasa di Myanmar, kata karyawan, meskipun pemerintah Prancis mengecam kudeta 1 Februari dan tindakan keras rezim yang terus berlanjut terhadap pengunjuk rasa.

Total E&P Myanmar berada di bawah tekanan untuk menghentikan operasinya di negara itu, di mana setidaknya 710 warga sipil telah terbunuh dalam waktu kurang dari tiga bulan oleh angkatan bersenjata junta, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).

Anggota staf Total berbicara dengan Myanmar Now tanpa menyebut nama mengatakan, pendapatan dari ekspor gas terus disalurkan ke Perusahaan Minyak dan Gas (MOGE) milik negara, yang dikendalikan oleh militer.

"Tidak ada penangguhan (operasi) sama sekali. Gas alam masih diproduksi dan diekspor untuk dijual, dan pendapatan yang dihasilkan belum disita. Itu sedang ditransfer ke MOGE. Ini pasti mencapai junta," kata seorang insinyur yang telah bersama Total selama hampir 15 tahun, melansir Myanmar Now, Jumat 16 April.

Karyawan lokal perusahaan telah menuntut agar pendapatan minyak dan gas (Migas) tidak dibayarkan ke kas militer, sesuai dengan seruan 5 Maret yang diajukan oleh Komite Mewakili Pyidaungsu Hluttaw (CRPH), sebuah badan yang terdiri dari anggota parlemen terpilih yang digulingkan dalam kudeta. Namun, karyawan mengatakan, pihak Total menolak untuk memenuhi permintaan ini.

Ilustrasi anjungan lepas pantai milik Total di Myanmar. (Sumber: Total Myanmar)

"Kami menuntut manajemen perusahaan menghentikan pengiriman gas ke Thailand, maka tidak akan ada pendapatan dari ekspor gas untuk junta," kata seorang karyawan lokal, mengacu pada gas alam dari ladang gas Yadana di Laut Andaman.

"Pilihan lainnya adalah membekukan pendapatan dari penjualan gas, dengan setidaknya menahannya sampai pemerintahan demokratis kembali. Tetapi manajemen perusahaan gagal mengikuti permintaan kami," tambah karyawan itu.

Pada akhir Februari, perusahaan minyak Australia Woodside Energy mengumumkan akan menghentikan operasi pengeborannya di Myanmar, termasuk di blok lepas pantai A6 di Rakhine Basin. Woodside dan Total masing-masing memegang 40 persen saham dalam proyek tersebut, tetapi Total memegang peran non-operator.

Chief Executive Officer Total Patrick Pouyanné merilis pernyataan pada 4 April sebagai tanggapan atas seruan agar perusahaan menghentikan pendanaan junta, mengumumkan Total akan menghentikan pengeboran di blok A6. Namun, seorang karyawan Total di Myanmar menolak pernyataan CEO tersebut, dan menggambarkannya sebagai 'tipuan'.

"A6 dioperasikan oleh Woodside. Woodside menghentikan operasi, bukan Total," kata anggota staf tersebut.

Selain situs A6, kampanye pengeboran Total di ladang gas Yadana terus berlanjut selama krisis saat ini. Anggota staf menjelaskan, manajemen perusahaan di Myanmar telah mengatakan, mereka akan menghentikan pengeboran sumur tambahan di lokasi tersebut pada bulan Mei. 

Tetapi, karyawan tersebut mencatat, keputusan tersebut tidak dibuat sebagai tanggapan atas tindakan keras mematikan yang dilakukan oleh rezim militer Myanmar.

"Sebenarnya saat ini pemboran sudah akan dilakukan," imbuhnya.

Karyawan tersebut menunjukkan, Total dijadwalkan untuk terus mengekstraksi dan menjual gas dari lapangan Yadana, bahkan saat pengeboran sumur baru dihentikan.

Pada 2019 saja, perusahaan menghasilkan pendapatan hampir 230 juta dolar Amerika Serikat ke Myanmar. Lebih dari tiga perempatnya masuk ke MOGE dan sisanya dibayarkan dalam pajak, lapor Reuters.

"Satu hal yang perlu diperhatikan tentang Total adalah, mereka datang ke Myanmar pada tahun 1992, tepat setelah pemberontakan 1988," tutur seornag karyawan. 

"Beroperasi di wilayah yang dilanda perang dan negara-negara di mana diktator berkuasa, karena itu lebih menguntungkan bagi mereka," tambahnya.

Logo Total. (Wikimedia Commons/Laurent Vincenti)

Staf juga mengajukan pertanyaan tentang hak-hak mereka sebagai pekerja yang dilanggar. Perusahaan mempekerjakan sekitar 300 orang, diperkirakan 90 persen di antaranya adalah penduduk setempat. 

Salah satu karyawan melaporkan, manajemen telah memaksa setidaknya satu anggota staf untuk mengundurkan diri setelah dia meminta cuti tanpa bayaran di tengah penumpasan rezim yang sedang berlangsung.

"Saat ini, kami sedang empat minggu bekerja dan empat minggu istirahat di rumah secara bergilir. Seorang karyawan tidak dapat melanjutkan pekerjaannya karena situasi saat ini di Yangon," kata anggota staf tersebut, mengacu pada penembakan dan penangkapan yang dilakukan oleh tentara dan polisi di seluruh ibu kota komersial. 

"Dia meminta cuti tanpa bayaran. Namun manajemen tidak mengizinkannya, malah membuatnya mengundurkan diri. Dia harus menyerahkan surat pengunduran dirinya secara sukarela," ungkap karyawan tersebut.

Para pemimpin CRPH telah mendesak para pekerja di semua sektor di seluruh negeri untuk bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM), menolak untuk bekerja di bawah kediktatoran militer. 

Namun, partisipasi dalam CDM belum diketahui di antara 300 karyawan Total, yang hampir semuanya adalah penduduk setempat, seorang anggota staf menambahkan.

"Pada awal Maret, kami mencoba mengatur untuk terutama menuntut (Total) menangguhkan pembayaran pajak kepada junta, tetapi itu tidak terjadi. Staf senior yang sudah lama bekerja di perusahaan malah bekerja, alih-alih bergabung dengan CDM," tuturnya.

Karyawan tetap berharap bahwa jika staf bergabung dengan CDM sebagai front persatuan, mereka mungkin dapat menghentikan operasi Total.

"Jika kita semua masuk ke CDM, operasi perusahaan pasti bisa dihentikan. (Kami) tidak bisa diganti dengan mudah," katanya, seraya menambahkan bahwa Total kemungkinan akan mencoba mendatangkan kontraktor luar negeri untuk mengambil alih pekerjaan mereka. 

"Setiap anjungan lepas pantai memiliki sifat yang berbeda, dan membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang lokasinya. Mereka tidak bisa (mempelajarinya) sekaligus," jelasnya.

Selain mengoperasikan lapangan gas Yadana dan memegang saham di blok pengeboran lepas pantai A6, Total juga mengerjakan setidaknya tiga blok laut dalam lainnya di Laut Andaman dan Blok Barat Yetagun.

Sebelumnya, seperti dilansir Reuters, Kepala Eksekutif Total Patrick Pouyanne menyebut, ada beberapa alasan mengapa mereka masih menjalankan usahanya. Pertama, untuk menjaga sumber energi utama di Myanmar. Kemudian, jika Total memutuskan untuk berhenti produksi, bisa terkena kerja paksa oleh rezim militer Myanmar.

Pouyanne mengungkapkan, sejauh ini pihaknya belum melakukan pembayaran pajak bulanan sebesar 4 juta dolar Amerik Serikat kepada rezim militer, karena sistem perbankan Myanmar sedang tidak berjalan. 

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.