Bagikan:

JAKARTA - Beberapa hari lalu perairan Natuna memanas setelah kapal-kapal China memasuki kawasan tersebut. Keberadaan kapal-kapal China tersebut jelas melanggar batas wilayah yang sudah diatur dalam peraturan internasional.

Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi mengatakan, sebagai negara yang menjadi anggota United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) sejak 1982, China atau Republik Rakyat Tiongkok (RRT) memiliki kewajiban untuk mematuhi apa yang ada di UNCLOS.

“Nah, apa yang ada di antara lain mengatur mengenai masalah ZEE [Zona Ekonomi Eksklusif] dan sebagainya, sehingga ZEE, penarikan-penarikan garis yang terkait dengan ZEE dan sebagainya yang di Indonesia itu sudah sesuai. Kami hanya ingin Tiongkok mematuhi hukum internasional termasuk di UNCLOS,” kata Retno beberapa hari lalu.

Potensi alam dari Natuna memang menarik bagi sejumlah negara untuk dieksplorasi, termasuk oleh China. Nah, pada 1996 silam, Indonesia dan China pernah berencana untuk bekerja sama dalam pembangunan pipa gas Indonesia ke China.

Dikutip dari bisnis.com, Rabu 8 Januari, PT Pertamina dan China Oil Offshore (COO) menyetujui pembangunan jaringan pipa gas alam dari Natuna ke Guangdong sepanjang 2.562 kilometer.

Direktur Utama Pertamina saat itu, Baharuddin mengatakan, pembangunan jaringan pipa tersebut dilakukan untuk merealisasikan permintaan China atas gas alam dari proyek Natuna.

"Pembangunan instalasi jaringn pipa itu hanya tinggal menunggu pertemuan akhir yang akan dilaksanakan oleh pihak Indonesia dan China dalam waktu dekat," ujarnya.

Dia menjelaskan Provinsi Guangdong letaknya berada sedikit di atas Hong Kong. Lantaran itu membutuhkan jaringan pipa dari Natuna ke kawasan itu sepanjang 2.562 km.

Pembangunan jaringan pipa dari Natuna ke Guangdong, menurutnya dilakukan melalui proses lelang internasional. "Bahkan, Pertamina berniat menarik jalur pipa tersbeut hingga ke Arun, Aceh karena melalui wilayah ini pemasukannya lebih strategis," tutur Baharudin.

Hubungan Indonesia dengan China saat itu memang baik, karena selain gas alam, Pertamina juga berniat menawarkan kerja sama lain yang menyangkut bidang pertambangan di Indonesia dengan China.

Selain itu, Pertamina juga mendapatkan tanggapan positif atas kegiatan di bidang pemasaran LNG ke Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.

"Umumnya negara-negara calon pembeli menilai positif untuk dipertimbangkan sebagai sumber pasokan, mengingat cadangan gas serta lokasinya sangat ideal," tegasnya.

Dia menjelaskan dana investasi untuk proyek tersebut diupayakan diperoleh dari pinjaman di bawah persyaratan normal dengan masa pengembalian yang panjang. Pinjaman itu hanya untuk menangani kegiatan hilir pabrik LNG, bukan untuk kegiatan hulu.

Baharuddin juga mengemukakan bahwa China akan meningkatkan kegiatan investasinya di bidang minyak, jika Pemerintah Indonesia menawarkan kegiatan yang dapat saling menguntungkan. Pembangunan jaringan pipa ke China merupakan kerja sama kedua Pertamina setelah mencapai persetujuan dengan antara BUMN itu dengan PTT Thailand.

Kembali ke soal gas bumi, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ( ESDM) menyebutkan, Indonesia memiliki cadangan gas bumi mencapai 144,06 triliun kaki kubik (TCF), terdiri dari cadangan terbukti (P1) sebesar 101,22 TSCF dan cadangan potensial (P2) 42,84 TSCF.

Nah, cadangan gas terbesar di Indonesia berada di Natuna, tepatnya berada di Blok East Natuna 49,87 TCF. Selanjutnya disusul Blok Masela di Maluku 16,73 TCF, dan Blok Indonesia Deepwater Development (IDD) di Selat Makassar 2,66 TCF.

Besarnya kandungan gas alam di Natuna tersebut, membuatnya disebut-sebut sebagai cadangan gas terbesar di Asia Pasifik.