Bagikan:

JAKARTA - Sejumlah perusahaan minyak dan gas (Migas) asing di Myanmar, didesak untuk menghentikan operasi dan menunda bisnis mereka, terkait dengan kondisi di Myanmar saat ini.

Diketahui, rezim militer Myanmar terus melakukan kekerasan terhadap pengunjuk rasa antikudeta 1 Februari. Hingga Selasa kemarin, hampir 200 orang tewas, ratusan lainnya luka-luka dan lebih dari 2.100 orang ditahan. 

Seruan ini datang dari Penjabat Menteri Perencanaan, Keuangan dan Industri, yang dipilih oleh Komite Perwakilan Parlemen Myanmar (CRPH) U Tin Tun Naing, sambil mengirimkan pemberitahuan terakhir kepada Total SE Prancis, Petronas Malaysia, PTT Thailand hingga POSCO Korea Selatan.

CRPH menyebut, dana yang diperoleh rezim militer Myanmar digunakan untuk melawan pengunjuk rasa antikudeta. Melansir The Irrawaddy, Myanmar menghasilkan sekitar 75 juta dolar AS hingga 90 juta dolar AS per bulan dari penjualan minyak dan gas. Hampir semua pendapatan dibayarkan kepada pemerintah melalui Perusahaan Minyak dan Gas Myanma (MOGE), perusahaan milik negara yang sekarang dikendalikan oleh para pemimpin kudeta militer.

Dalam pernyataannya, CRPH memberi perusahaan batas waktu 9 Maret untuk menjatuhkan sanksi pada junta. CRPH mengatakan, pendapatan dari penjualan minyak dan gas pada Desember 2020 dan Januari 2021 dilaporkan telah dibayarkan ke rekening bank yang dikendalikan rezim.

"Kami mengutuk keras perusahaan yang melakukan pembayaran untuk penjualan minyak dan gas kepada rezim," kata CRPH.

CRPH juga mendesak perusahaan untuk tidak membayar pajak sampai pemerintah yang terpilih secara demokratis melanjutkan tugasnya.

U Tin Tun Naing mengatakan, jika perusahaan terus melakukan pembayaran, itu akan sangat merusak upaya rakyat Myanmar untuk mengembalikan negara ke demokrasi. Dan, militer akan dapat memanfaatkannya untuk melanjutkan pelanggaran hak asasi manusia mereka di Myanmar.

"Kami mendesak Anda untuk segera mengambil tindakan untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia. Semua pemangku kepentingan harus segera berkoordinasi untuk mencapai demokrasi. Ini terakhir kalinya, kami mendesak Anda untuk bekerja sama dengan rakyat dalam perjuangan mereka untuk menggulingkan kediktatoran militer," tukasnya.

Untuk diketahui, jika seluruh perusahaan Migas asing di Myanmar menangguhkan bisnis dan operasinya, termasuk tidak membayar pajak, rezim militer Myanmar berpotensi kehilangan pendapatan tahunan hingga 1 miliar dolar AS.

Total melaporkanmereka membayar 257 juta dolar AS ke Myanmar pada 2019 dalam bentuk pajak dan pembayaran lainnya. Proyek gas Yetagun Petronas membayar 208 juta dolar AS kepada pemerintah pada tahun 2018 sementara proyek Shwe, yang dijalankan oleh POSCO Korea Selatan, membayar 194 juta dolar AS menurut Myanmar Extractive Industries Transparency Initiative (MEITI).

Sementara, proyek gas Zawtika, yang dijalankan oleh PTT Thailand, membayar US $ 41 juta pada 2018. Selain itu, pemerintah juga memperoleh 300 juta dolar AS lagi pada 2018 dari biaya yang dibayarkan oleh perusahaan untuk menggunakan pipa ekspor gas.

Terpisah, kelompok hak asasi Justice for Myanmar (JFM) juga telah menyuarakan keprihatinan bahwa pendapatan minyak dan gas akan membiayai rezim militer dan memperkaya para pemimpinnya.

"Saat para jenderal Myanmar mencari pendapatan untuk menopang kediktatoran baru mereka setelah kudeta 1 Februari, ada satu sumber uang yang dapat mereka andalkan: proyek gas alam yang didukung oleh investor asing," kata JFM.

"Jika ini bisnis seperti biasa, investor asing di minyak dan gas Myanmar akan mendanai rezim militer yang tidak sah dan brutal seperti yang mereka lakukan sebelum 2011, ketika negara berada di bawah kekuasaan militer penuh," JFM memperingatkan.

JFM mengatakan bahwa kudeta telah membuat perusahaan minyak dan gas internasional tidak punya pilihan selain mengakhiri hubungan mereka dengan MOGE dan rezim militer yang sekarang mengendalikannya. JFM mendesak komunitas internasional untuk segera memberlakukan sanksi yang ditargetkan terhadap MOGE dan semua bisnis yang dikendalikan militer lainnya.

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.