Harga Bensin dan Pangan di Myanmar Bakal Melonjak Gara-Gara Kudeta Militer
Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Ada kekhawatiran bakal melonjaknya harga pangan dan bahan bakar di Myanmar. Hal itu adalah rentetan 'bencana' di negara tersebut menyusul krisis politik akibat kudeta militer awal Februari lalu.

Dikutip dari Reuters, Selasa 16 Maret, World Food Programme (WFP) menyatakan, kudeta militer yang dimulai 1 Februari lalu berisiko merusak kemampuan keluarga miskin untuk menghidupi diri sendiri.

Disebutkan, harga minya sawit melonjak hingga 20 persen lebih tinggi di beberapa tempat di sekitar ibu kota Yangon sejak awal Februari. Adapun harga beras naik 4 persen di daerah Yangon dan Mandalay sejak akhir Februari.

WFP juga mencatat, ada kenaikan harga beras hingga 35 persen di Negara Bagian Kachin di utara. Sedangkan harga minyak goreng dan kacang-kacangan naik tajam di beberapa bagian Negara Bagian Rakhine di barat.

Sejak kudeta militer terjadi, rangkaian aksi unjuk rasa pecah di seluruh penjuru negeri Myanmar, bahkan di beberapa negara lain. Muncul pula aksi mogok kerja di beberapa sektor vital seperti instansi pemerintahan hingga rumah sakit.

Harga bahan bakar di Myanmar telah melonjak sebesar 15 persen sejak 1 Februari. Tentu hal itu tak bisa dianggap main-main, karena semakin dikhawatirkan akan terus melonjak di waktu mendatang.

"Kenaikan harga pangan dan bahan bakar ini diperparah oleh sektor perbankan yang hampir lumpuh, perlambatan pengiriman uang, dan batasan luas pada ketersediaan uang tunai," ungkap WFP.

Direktur WFP, Stephen Anderson mengatakan, tanda-tanda krisis tersebut sangat mengganggu Myanmar secara menyeluruh. Pasalnya, masalah COVID-19 saja belum berhasil teratasi.

Menurutnya, jika tren negatif ini terus berlanjut setelah pandemi COVID-19 usai, maka masyarakat miskin bakal semakin sulit menyediakan makanan yang cukup di meja keluarga.

WFP telah hadir cukup lama di Myanmar, setidaknya selama 10 tahun terakhir. Badan PBB ini melaporkan telah mendukung lebih dari 360.000 orang di Myanmar, kebanyakan dari mereka mengungsi akibat serangkaian konflik yang terjadi.

"Di WFP kami tahu betul bagaimana kelaparan dapat dengan cepat terjadi ketika perdamaian dan dialog dikesampingkan," terang Anderson.

Myanmar yang dulu sempat menjadi lumbung beras utama Asia, kini termasuk ke dalam golongan negara termiskin di kawasan itu sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta tahun 1962.