Khawatir Serangan Kelompok Gerilya, Pasukan Rezim Militer Myanmar dan Keluarganya Melarikan Diri dari Yangon
Ilustrasi tentara rezim militer Myanmar. (Wikimedia Commons/Mil.ru)

Bagikan:

JAKARTA - Rasa khawatir melanda anggota keluarga pasukan rezim militer yang berbasis di Yangon, jika dewan militer mungkin tidak dapat melindungi mereka dari kehadiran kelompok gerilya yang meningkat di kota, menurut seorang anggota polisi.

Berbicara kepada Myanmar Now dengan syarat anonim, petugas Kepolisian Yangon menjelaskan, keluarga yang memiliki hubungan dengan mekanisme keamanan dan administrasi rezim militer Myanmar, bergerak dalam jumlah yang lebih besar ke ibukota militer Naypyitaw menyusul upaya pembunuhan oleh perlawanan terhadap mereka yang bekerja untuk junta di Yangon.

Dia mengutip penembakan 7 April terhadap wakil gubernur Bank Sentral yang dikendalikan junta, Than Than Swe, dan tiga hari kemudian terhadap Mayor Gaday Phyo Aung, seorang pejabat administrasi yang ditunjuk junta untuk Kotapraja Lanmadaw, sebagai meningkatkan eksodus.

Komando Regional Yangon di bawah Pemerintah Persatuan Nasional mengaku bertanggung jawab atas upaya untuk membunuh Than Than Swe di rumahnya, dengan menyebut dia sebagai salah satu dari lebih dari 1.100 target administratif dan ekonomi kelompok itu selama tujuh bulan terakhir. Kelompok gerilya perkotaan lainnya dilaporkan berada di balik penembakan fatal Mayor Gaday Phyo Aung di dekat Pelabuhan Mawtin.

Namun, penduduk setempat Naypyitaw melaporkan menyaksikan peningkatan pendatang baru selama berbulan-bulan.

"Mulai Januari tahun ini, banyak orang baru mulai menetap di Naypyitaw," kata seorang sopir taksi dari wilayah tersebut, mencatat bahwa sebagian besar tampaknya adalah anggota keluarga perwira militer, seperti dikutip dari Myanmar Now 25 April.

Kehadiran mereka telah menaikkan harga tanah dan rumah di Kotapraja Pobbathiri, yang terletak di pusat Naypyitaw, menurut penduduk setempat. Sebagian besar perkampungan terdiri dari penduduk yang memiliki ikatan militer, karena kehadiran Kodam Naypyitaw.

"Harga real estat melonjak secara signifikan setelah begitu banyak pemukim baru tiba. Kavling tanah di Pobbathiri yang tidak ingin dibeli siapa pun bahkan dengan harga empat hingga lima juta kyat (2.150 - 2.686 dolar AS) telah dijual seharga 20 juta kyat (10.748 dolar AS)," seorang pria berusia 35 tahun yang tinggal di perkampungan itu mengatakan.

Warga lokal lain yang memiliki hubungan dengan militer mengatakan, para petugas juga pindah ke Pobbathiri dari Mandalay, dengan 'alasan keamanan'.

Setelah serangkaian serangan oleh pasukan pertahanan di pos-pos pemeriksaan, seorang informan junta, dan bahkan sebuah konvoi militer pada Bulan Agustus dan September tahun lalu, kegiatan gerakan perlawanan di Naypyitaw telah mereda.

Diketahui, Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemerintah sipil terpilih yang dipimpin oleh Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, dalam kudeta pada 1 Februari tahun lalu.

Suu Kyi tetap ditahan di sebuah lokasi yang dirahasiakan di Naypyitaw, menghadapi berbagai tuduhan kriminal. Setelah protes damai terhadap junta menjadi sasaran dalam tindakan keras mematikan di bulan-bulan berikutnya, banyak penentang rezim kudeta mengangkat senjata sebagai tanggapan atas upaya militer untuk membasmi perbedaan pendapat.

Banyak aktivis politik dan anggota perlawanan bersenjata kemudian dipaksa untuk pindah ke daerah-daerah yang dibebaskan, di bawah kendali organisasi etnis bersenjata untuk menghindari penangkapan, penyiksaan atau kematian di tangan tentara Myanmar.

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus menyatukan situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.