Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 52 tahun yang lalu, 31 Maret 1971, Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin meresmikan Masjid Sunda Kelapa. Kehadiran rumah ibadah itu diyakininya akan membawa kebaikan bagi jemaah sekitar Menteng, Jakarta. Masjid itu tak hanya dijadikan rumah ibadah belaka, tapi juga wadah untuk memperdalam Islam.

Sebelumnya, Ali Sadikin dikenal sebagai tokoh penting dalam tumbuh kembang Jakarta. Ia mampu menjadi Gubenur untuk semua golongan. Ia mendukung pula segala macam aktivitas positif masyarakat Jakarta.

Pemahaman Gubernur Ali Sadikin memang minim urusan perkotaan. Namun, ia tak menyerah. Ali jadi pribadi yang mau belajar. Ia tak mau banyak waktu terbuang sia-sia karena berpangku tangan tanpa mau belajar. Masalah Jakarta dari hulu ke hilir dicari tahunya.

Pria yang akrab disapa Bang Ali itu tak segan-segan melakukan blusukan dari kampung hingga terminal bus. Semuanya dilakukan untuk mengetahui kondisi masyarakat Jakarta yang sebenarnya. Bekal itu kemudian dapat diramu pemerintah DKI Jakarta jadi kebijakan yang tepat guna.

Hasilnya gemilang. Sudut-sudut Jakarta yang awalnya kumuh dapat berbenah. Ali tak hanya mengandalkan anggaran negara semata. Ia mampu mencari pundi-pundi pendapatan daerah. Sekalipun dengan cara yang kontroversial: judi dan pelacuran.

Kegiatan pengajian di Masjid Sunda Kelapa. (Antara)

Kepopuleran Ali memimpin Jakarta kian meningkat. Apalagi kepopulerannya ditunjang pula dengan kemampuannya yang dapat berteman kepada siapa saja. Dari Pejabat, seniman, hingga jelata. Kedekatan itu terjalin karena Ali juga seorang dermawan.

Segala bentuk kegiatan yang membawa nilai positif didukungnya. Bahkan, ia sampai merelakan uang kocek pribadinya untuk disumbangkan. Utamanya, ketika Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta baru beroperasi. Ali mendukung penuh kehadiran LBH supaya masyarakat Jakarta banyak terbantu dan teredukasi hukum.

“Ali menepati janji membantu pembiayaan organisasi. Sebagian di antaranya bahkan ia keluarkan dari kocek pribadi. Sejak mulai beroperasi pada 1971, dukungan anggaran dari pemerintah Jakarta kepada LBH Jakarta mengalir secara rutin.”

“Jumlahnya terus meningkat seiring dengan kebutuhan operasional organisasi dan tingginya permintaan layanan lembaga ini. Di tahun keenam, anggaran LBH Jakarta meningkat delapan kali lipat,” ujar Riki Ferdianto dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Penyantun hingga Akhir Hayat (2022).

Jejak dukungan Ali Sadikin tak hanya di LBH, tapi di ruang lainnya juga. Ambil contoh kala segenap warga Jakarta yang berada di sekitar Menteng ingin membangun sebuah masjid. Masjid Sunda Kelapa, namanya.

Salat di Masjid Sunda Kelapa. (Antara)

Rencana pembangunan Masjid telah berlangsung semenjak tahun 1960-an. Semua elemen masyarakat ikut menyumbangkan rejekinya untuk membantu pembangunan. Namun, dana yang dibutuhkan tak kunjung cukup. Pengusaha H.B.R. Motik kemudian segera minta bantuan kepada Ali Sadikin.

Gayung pun bersambut. Ali Sadikin lewat Pemerintah DKI Jakarta bersedia memberikan bantuan untuk pembangunan Masjid Sunda Kelapa di Menteng. Pun Ali Sadikin turut serta mengeluarkan juga dana dari kocek pribadinya. Tindakan itu untuk membantu pembangunan masjid yang dirancang arsitek Gustaf Abbas.

Pembangunan Masjid Sunda Kelapa pun digalakkan. Masjid itu selesai pada 1970. Peresmiannya baru dapat dilakukan Ali Sadikin pada 31 Maret 1971. Masjid itu kemudian menjelma jadi pusat ibadah dan belajar bagi umat Muslim sekitar Menteng.

Ali Sadikin sendiri kerap melakukan ibadah di Masjid Sunda Kelapa dari masa Gubernur hingga ia pensiun. Sekalipun tak banyak orang yang berani menegur Ali karena ia jadi musuh bebuyutan Orde Baru.

“Demikianlah beliau diperlakukan oleh masyarakat saat itu. Masyarakat takut menyapa, apalagi menemani beliau walaupun di masjid, karena sebagai penandatangan Petisi 50 beliau telah dituduh melawan Orba.”

“Ironisnya di bagian muka Pintu Utama Masjid Sunda Kelapa terpampang tulisan: Diresmikan dan dibuka oleh Gubernur DKI Jakarta, Letjen KKO (Purn) Ali Sadikin. Saya amati bahwa selama beliau berada di masjid tersebut, jarang orang berani menegur beliau, apalagi memberi penghormatan. Banyak masyarakat melupakan jasa-jasa dan kebaikan beliau di masa lalu,” ungkap M. Harjono Kartohadiprodjo dalam buku Melangkah di Tiga Zaman (2022).