Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah mewajibkan pengusaha untuk membayar tunjangan hari raya (THR) keagamaan 2021 kepada pekerja paling lambat H-7. Aturan tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HK.04/IV/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Tahun 2021.

Namun, Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng mengaku khawatir THR yang menjadi hak buruh tak dipenuhi di tahun ini. Sebab, Ombudsman melihat masih terdapat berbagai tantangan dalam pelaksanaan pemberian THR di tahun ini.

Pertama, minimnya sosialisasi pemerintah terhadap peraturan pelaksanaan THR 2021. Robert menilai masih ada pihak baik dari sisi pemerintah daerah dan perusahaan yang belum menerima informasi secara penuh terkait aturan THR tahun ini.

"Kami menyambut baik adanya surat edaran seperti ini karena memang isi surat ini. Hanya saja memang karena isi surat edaran ini yang membuat kemudian multitafsir di lapangan," katanya dalam konferensi pers secara virtual, Rabu, 5 Mei.

Maksud multitafsir adalah ada pihak yang menilai THR tersebut harus dibayar tepat waktu dan tanpa cicilan. Kemudian, ada yang menafsirkan THR dibayarkan H-7 tetapi juga ada relaksasi yakni perusahaan yang tak mampu bisa membayar H-1. Lalu, ada yang menafsirkan perusahaan bisa membayar setelah lebaran tetapi dengan memenuhi seluruh persyaratan.

"Sosialisasi ini sangat penting, tanpa kesamaan persepsi maka kemudian akan berbeda tindakan yang diambil pemda atau perusahaan yang bersangkutan," tuturnya.

Kedua, terkait keterbukaan atau transparansi catatan keuangan perusahaan. Kata Robert, catatan keuangan perusahaan harus dibuktikan dengan valid pada pekerja dan pengawas ketenagakerjaan. Menurut dia, jika tidak ada mekanisme atau jaminan pembuktian yang valid, maka ini akan merugikan pekerja.

"Mekanisme pembuktian soal laporan keuangan itu harus benar-benar clear and clean supaya pihak buruh mengerti," ucapnya.

Ketiga, tantangan pembayaran THR 2021 ada pada tingkat pemerintah daerah. Khususnya berkaitan dengan pengawasan pelaksanaan THR 2021. Sebab, kewenangan pengawasan berada pada tingkat provinsi. Karena itu, pemerintah harus melakukan pengawasan yang intensif pada perusahaan, dan tegas pada perusahan yang tidak melakukan kewajiban.

"Tentu Ombudsman akan memantau dan mengawasi sejauh mana koordinasi dan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan terhadap Dinas Ketenagakerjaan di daerah. Karena dinas-dinas ini adalah bagian dari perangkat daerah, Ombudsman akan menggeser fokus kepada dinas yang bersangkutan," jelasnya.

Terakhir, adanya potensi maladministrasi. Robert menjelaskan khususnya bila pemerintah tidak mampu melaksanakan ketentuan dalam SE Menaker. Potensi maladministrasi di antaranya pengabaian kewajiban hukum hingga penundaan berlarut.

"Memang kuncinya saya kira pada pengawasan tadi, sejauh mana efektivitas pengawasan khususnya di tingkat provinsi baik gubernur maupun dinasnya itu benar-benar bisa melakukan proses pengawasan," tuturnya.

Buka posko di daerah

Ombudsman meminta perwakilannya di daerah untuk membuka posko pengaduan bagi pekerja yang memiliki masalah terkait THR 2021. Tujuannya agar hak-hak buruh atau pekerja dapat dipenuhi.

"Kita berharap pada para kepala perwakilan dan teman-teman perwakilan Ombudsman di 34 provinsi membuka posko pengaduan dan melakukan observasi intensif, baik pada perusahaan dan juga pada dinas-dinas ketenagakerjaan," ucapnya.

Menurut Robert, pengawasan perlu dilakukan agar perusahaan tidak melakukan keputusan secara sepihak.

Sebab, dalam SE Kemnaker itu disebutkan bahwa harus ada dialog antara perusahaan dan buruh atau pekerja terkait dengan pemberian THR.

"Dialog ini harus terbuka, egaliter, dan tidak ada proses tekan menekan," ujarnya.

Dinas Ketenagakerjaan Provinsi, kata Robert, harus mengawasi dialog bipartit ini. Sehingga, tidak ada upaya yang tidak diinginkan terjadi. Kesepakatan pun, kata dia, harus dituangkan dalam dokumen bersama menyangkut skema pembayaran dan batas waktu.

"Idealnya kita mengharapkan perusahaan itu bisa membayar tanpa cicilan dan tepat waktu. Tetapi kita juga melihat dari surat edaran ini ada tambahan ruang situasi hari ini bisnis dan perusahaan itu tidak semuanya berada di tingkat yang optimal. Ini memang kerangka yang ada di surat edaran," tuturnya.

Ada sanksi

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan terdapat sejumlah sanksi bagi perusahaan yang telat dan tak membayar tunjangan hari raya (THR) keagamaan 2021 kepada pekerja sesuai dengan yang diatur pemerintah. Pembayaran THR untuk tahun ini harus diberikan paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan.

Aturan pembayaran THR tahun ini sesuai dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan bagi Pekerja atau Buruh di Perusahaan. Selain itu, pembayaran THR juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Ida menegaskan, pemerintah sudah memberikan dukungan kepada pengusaha untuk mengatasi dampak pandemi COVID-19. Kata dia, dukungan ini diberikan agar ekonomi masyarakat bergerak seiring dengan kebijakan pemerintah untuk penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

Untuk itu, lanjut Ida, diperlukan komitmen pengusaha untuk membayar THR keagamaan 2021 secara penuh dan tepat waktu

"Pengusaha yang terlambat bayar THR ke pekerja kena denda 5 persen dari denda yang harus dibayar sejak berakhir batas waktu kewajiban pengusaha untuk membayar," katanya, dalam konferensi pers secara virtual, Senin, 12 April.

Sementara itu, Ida mengatakan, pengusaha yang tak membayar THR akan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Selain itu, pemerintah juga akan membatasi kegiatan usaha perusahaan tersebut.

"Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi dan pembekuan kegiatan usaha," ucapnya.

Seperti diketahui, Menaker Ida Fauziyah mewajibkan seluruh pengusaha untuk membayar THR maksimal h-7 Hari Raya Idul Fitri. Hal itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HK.04/IV/2021 tentang pelaksanaan Pemberian THR Tahun 2021 bagi pekerja atau buruh di perusahaan.