Bagikan:

JAKARTA – Pada Oktober 2020 lalu, lembaga penelitian Nagara Institut mengumumkan hasil riset terbaru mereka tentang politik dinasti di Pilkada Serentak 2020.

Dalam riset tersebut ditemukan, sebanyak 124 calon kepala daerah diketahui terpapar dinasti politik. Rinciannya, 57 calon bupati dan 30 calon wakil bupati, 20 calon wali kota dan 8 calon wakil wali kota, serta 5 calon gubernur dan 4 calon wakil gubernur.

Dari 124 calon kepala daerah tersebut jika diklasifikasikan secara gender, terdapat 67 orang berjenis kelamin laki-laki dan 57 perempuan.

“Dari 57 perempuan tersebut, terdapat 29 kandidat perempuan yang merupakan istri dari kepala daerah sebelumnya,” kata peneliti Nagara Institut Febriansyah Ramadahan, dikutip VOI dari laman resmi Nagara Institut, Selasa, 6 April 2021.

Lantas, apa itu politik dinasti, dan bagaimana contoh kasusnya di Indonesia?

Pengertian politik dinasti

Secara sederhana, politik dinasti merupakah sebuah upaya untuk mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan gologan tertentu untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan di suatu negara.

Kata “dinasti” sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan raja-raja yang memerintah atau semua yang berasal dari satu keluarga. Karena politik di Indonesia menganut sistem demokrasi, dan bukan kerajaan atau monarki, maka munculah istilah politik dinasti.

Dikutip dari Historia, Selasa, 6 April 2021, Sejarawan Universitas Gajah Mada, Sri Margana menyebut, politik dinasti di Indonesia bukan hanya sekedar fenomena, tapi juga tradisi.

Tradisi tersebut bermula dari budaya feodalisme di Nusantara yang juga menganut patrimonialisme.

Patrimonialisme sendiri adalah istilah untuk menyebut rezim pemerintahan dimana kekuasaan penguasa tergantung pada kecakapan untuk mempertahankan kesetiaan para elit kelompok.

“Memang budaya politiknya mengarah ke sana, garis keturunan ayah diutamakan. Hampir semua kerajaan di Indonesia menerapkan tradisi ini, termasuk dari masa Hindu, Buddha, dan Islam,” ujar Margana.

Menurutnya, ada jurang antara jalan politik demokrasi yang dipilih oleh bangsa Indonesia pada masa modern dengan kultur yang dibawa oleh orang-orang yang menjalankannya. Kultur ini, sambung Margana, tak mudah hilang begitu saja.

“Teorinya bisa kita aplikasikan, institusinya bisa kita bentuk, namun orang yang mengisi di lembaga-lembaga yang juga menjalankan kekuasaan itu, kulturnya masih feudal,” terangnya.

Politik dinasti ibarat pisau bermata dua

Pengurus Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang, Pudjo Rahayu Rizan menyebut dinasti politik ibarat pisau bermata dua. Mengapa demikian?

Karena di satu sisi, praktik politik dinasti merampas hak orang lain sebab berpotensi menggunakan cara-cara yang tidak benar yang melanggar prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Sementara, pada sisi lainnya, pelarangan terhadap seseorang yang memiliki hak untuk dipilih akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah kebetulan merupakan bagian dari dinasti politik tertentu, juga melanggar hak politik seseorang, sehingga bertentangan dengan asas demokrasi, dikutip dari Antara.

Atas dasar tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) menilai pelarangan dimaksud bertentangan dengan konstitusi sehinngga politik dinasti dihalalkan melalui putusan MK No.33/PUU-XIII/2015. Larangan keluarga tertentu untuk mencalonkan diri bertentangan dengan Pasal 28J Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Politik dinasti tidak dilarang di Indonesia

Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, dalam suatu kesempatan pernah berpendapat bahwa tak ada aturan hukum maupun konstitusi yang melarang kerabat pejabat publik untuk maju dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Menko Polhukam Mahfud MD. (Antara)

Dia menilai, politik dinasti merupakan bagian dari praktik nepotisme. Meski begitu, hal tersebut tidak bisa dihindari.

“Kita sebagian besar tidak suka dengan nepotisme, tapi harus kita katakan, tidak ada jalan hukum atau jalan konstitusi yang bisa menghalangi orang itu mencalonkan diri berdasarkan nepotisme atau sistem kekeluargaan sekalipun,” ujar Mahfud dalam Webinar Pilkada dan Konsolidasi Demokrasi Lokal pada Sabtu 5 September 2020 lalu.

Dia menambahkan, dirinya belum pernah menemukan ada negara yang melarang warganya untuk maju di pemilihan umum hanya karena dia kerabat seorang pejabat publik.

Lagipula, kata Mahfud, tak selamanya politik dinasti atau nepotisme ini berniat menguntungkan golongan atau keluarga mereka.

Eks Ketua MK ini memberi contoh, di Bangkalan, Madura, pernah ada seseorang yang ingin maju menjadi Bupati karena dia merasa kakaknya yang saat itu menjabat tidak baik.

Orang tersebut, sambung Mahfud, ingin maju Pilkada bukan karena ingin mencari keuntungan, tapi untuk memperbaiki kabupaten tersebut setelah dipimpin oleh kakaknya yang dianggap kurang cakap.

“Jadi belum tentu orang nepotisme niatnya selalu jelek begitu tapi lebih dari itu,” kata Mahfud menandaskan.

Contoh politik dinasti di Indonesia

1. Anak dan mantu Presiden Jokowi maju Pilkada 2020

Salah satu contoh politik dinasti yang pernah menghiasi lini masa media online adalah majunya putra pertama Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wali Kota Solo. Sedangkan menantunya, Bobby Nasution, menju sebagai Calon Wali Kota Medan.

Gibran Rakabuming Raka. (Istimewa)

Di Solo, Gibran yang berpasangan dengan Teguh Prakosa menang telak dengan meraih suara lebih dari 90 persen atas calon independen Bagyo Wahyono-FX Supardjo.

Kemenangan juga diraih Bobby yang berpasangan dengan Aulia Rachman. Mereka berhasil mendulang 53,45 persen suara. Sementara rivalnya, Akhyar Nasution-Salman Alfarisi hanya memperoleh 46,55 persen suara.

2. Tiga Keluarga Ratu Atut menang di Pilkada Banten

Contoh lain dari politik dinasti di Indonesia adalah majunya Pilar Saga Ichsan, anak Wali Kota Serang Ratu Tatu Chasanah—adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, sebagai Calon Wakil Wali Kota Tangsel 2020. Dia mendampingi Benyamin Davnie yang maju sebagai Calon Wali Kota.

Dalam konstestasi Pilwakot Tangsel 2020, Benyamin Davnie-Pilar Saga Ichsan meraih suara terbanyak dengan 40,9 persen suara.

Ratu Atut Chosiyah. (Antara).

Sementara dua paslon lainnya, Muhamad-Rahayu Saraswati Djojohadikusumo dan Siti Nur Azizah-Ruhamaben masing-masing mendapatkan 35,6 persen suara dan 23,5 persen suara.

Ratu Tatu Chasanah sendiri juga bertarung di Pilkada 2020. Dia berhasil mempertahankan kursi sebagai Wali Kota Serang untuk periode kedua.

Dia maju Pilwakot Serang berpasangan dengan Pandji Tirtayasa dan meraih 63,7 persen suara. Sementara rivalnya Nasrul Ulum-Eki Baihaki, hanya meraih 36,3 persen suara.  

Keluarga Ratu Atut berikutnya yang menang di Pilkada 2020 adalah anak mantunya, yakni Tanto Earsono Arban.

Dia maju sebagai Wakil Bupati Pandeglang berpasangan dengan Irna Narulita, istri dari mantan Bupati Pandeglang dua periode, Dimyati Natakusumah.

Irna-Tanto mampu mendulang 63,6 persen suara dan unggul dari pasangan Thoni Fathoni Mukson-Miftahul Tamamy yang meraih 36,4 persen suara.

*Selain alat musik tradisional NTT, ikuti berita dalam dan luar negeri lainnya hanya di VOI.id, Waktunya Merevolusi Pemberitaan!

BERNAS Lainnya