Benarkah Kemenangan Gibran dan Bobby di Pilkada Jadi Bukti Masyarakat Tak Terpengaruh Politik Dinasti?
Ilustrasi Pilkada (Tim VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Anak dan menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka serta Bobby Nasution unggul dalam hitung cepat di Pilkada 2020.

Menurut hasil hitung cepat yang dikeluarkan oleh Charta Politika pada Rabu, 9 Desember , Gibran yang maju di Pilwalkot Solo sebagai calon wali kota bersama pasangannya, Teguh Prakosa berhasil mengalahkan pasangan calon lawannya yaitu Bagyo Wahyono-FX Supardjo (Bajo). Pasangan Gibran-Teguh meraih suara sebanyak 87,15 persen sementara pasangan Bajo meraih angka 12,85 persen.

Sementara di Pilwalkot Medan, Bobby Nasution yang maju sebagai calon wali kota bersama Aulia Rachman juga memperoleh kemenangan atas lawannya yaitu Akhyar Nasution-Salman Alfarisi. Menurut hasil hitung cepat Akhyar Nasution-Salman Alfarisi yang merupakan paslon nomor urut 1 mendapatkan suara sebanyak 44,81 persen sementara paslon nomor urut 2 Bobby Nasution-Aulia Rachman mendapatkan suara 55,19 persen.

Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan, kemenangan ini merupakan respons masyarakat terhadap isu politik dinasti yang selama ini berhembus ketika keduanya memutuskan untuk maju di Pilkada 2020. Kata dia, kemenangan ini merupakan pembuktian jika masyarakat mampu berdaulat dan tidak terpengaruh dengan isu kampanye negatif yang digaungkan oleh sejumlah pihak.

"Kemenangan ini adalah bukti kedaulatan rakyat dalam melihat sosok calon pemimpin daerah. Keduanya menunjukkan semangat dan komitmen yang serius dan teguh walau banyak upaya menghambat, misalnya, lewat kampanye negatif terkait politik dinasti," kata Hasto dalam keterangan tertulisnya.

Selain itu, kemenangan ini juga menjadi penanda bahwa dua anggota keluarga Jokowi ini tidak putus semangat karena dihantam isu negatif politik dinasti. Menurut Hasto, Gibran dan Bobby justru menunjukkan punya semangat yang kuat dan mau berupaya membuktikan diri ke masyarakat

"Keduanya membutikan diri sebagai pemimpin yang berani serta mau bertempur membuktikan diri. Keduanya terus mendekatkan diri dengan masyarakat, turun ke bawah sebagai kekuatan sebenarnya dari bangsa Indonesia. Hal itu sejalan dengan arahan Ibu Megawati Soekarnoputri yang meminta semua kader untuk selalu berada di tengah rakyat," ungkapnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin mengatakan, kemenangan terhadap anak dan menantu Jokowi ini sebenarnya bukan menjadi penanda masyarakat tidak terpengaruh dengan politik dinasti.

Menurutnya, kemenangan ini justru menandakan suburnya praktik politik dinasti di Indonesia dan bukan sesuatu yang aneh karena hal ini sudah banyak diprediksi ketika Gibran dan Bobby memutuskan maju di Pilkada Serentak 2020. 

"Kemenangan Gibran dan Bobby justru mentahbiskan, menyuburkan politik dinasti. Sehingga tidak aneh karena itu kan sudah diprediksi anak dan menantu RI-1 (Jokowi) akan menang dengan mudah," kata Ujang saat dihubungi VOI, Sabtu, 12 Desember.

Namun, ceritanya akan berbeda ketika Gibran dan Bobby kalah. Meski tidak mungkin, kata Ujang, akan menjadi lucu jika anak dan menantu Jokowi tersebut kalah dalam pemilihan kepala daerah.

"Ini sudah saya katakan juga jadi jauh-jauh hari, kemenangan itu hanya soal menunggu waktu dan semua orang paham itu," ungkapnya.

Meski dianggap sebagai bukti suburnya praktik politik dinasti, Ujang menilai, keduanya masih punya kesempatan untuk membuktikan diri sebagai kepala daerah yang benar-benar mumpuni bukan hanya karena nama orang tua di belakangnya. Caranya, dengan mewujudkan semua janji kampanye yang pernah disampaikan Gibran dan Bobby saat kampanye di Kota Solo dan Medan.

"Buktikan janji kampanye bisa direalisasi dan bukan membangun pencitraan," tegasnya.

Sementara Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menyebut kemenangan ini adalah bukti jika oligarki menguat. Alasannya, Gibran dan Bobby yang merupakan pengusaha dengan latar belakang politik yang kuat dianggap dapat memonopoli akses. "Ini bukan hanya soal kekerabatan politik tapi juga soal politik ekonomi keluarga yang di mana keduanya sama-sama pengusaha sukses dalam waktu yang luar biasa," kata Dedi.

"Sehingga akses ekonomi itu punya potensi dimonopoli karena luasnya kekuasaan politik," imbuhnya.

Selain itu, kemenangan ini juga dianggap menjadi penanda jika Jokowi tak jauh berbeda dengan pemimpin yang melanggengkan kekuasaan keluarga di Tanah Air. 

"Ada harapan besar praktik kekuasaan ini sebenarnya berakhir di era Jokowi tapi ternyata, dia malah berkontribusi dalam penyuburan politik kekerabatan dan tentunya sangat disayangkan ketidakpekaan itu meskipun dalih demokrasi merestuinya," tegas Dedi.

Ke depan, setelah dilantik, Gibran dan Bobby dianggap harus mampu di daerah yang dipimpinnya agar tak dianggap menang karena bantuan nama orang tua. Selain itu, Dedi mengingatkan semua pihak untuk memperhatikan dua kota yang dipimpin oleh anak dan menantu Jokowi tersebut agar tidak terjadi pengistimewaan. 

"Perlu ada pengawasan lebih untuk dua daerah ini jangan ampai ada pengistimewaan meskipun dalam pembangunan. Karena, kinerja keduanya ddapat dinilai ketika tidak ada intervensi pemerintah pusat dan pengistimewaan," pungkasnya.