JAKARTA - Pemprov DKI Jakarta berencana merenovasi 40 rumah di wilayah Kebon Pala, Kampung Melayu, Jakarta Timur menjadi rumah panggung. Rumah-rumah panggung itu disebut solusi banjir. Iya, solusi dengan menghindarinya. Kontroversi menyusul wacana Gubernur Anies Baswedan, bersama pertanyaan-pertanyaan juga, yang dibangun ini 'rumah' atau 'panggung'?
Wakil Gubernur DKI Ahmad Riza Patria sendiri yang bilang. Katanya, rumah pangung "itu kan untuk menghindari banjir. Kita lihat itu kan pendapat setiap pribadi anggota Dewan para pengamat, para ahli," kata Riza Patria di Balai Kota.
"Setiap warga boleh memberikan pendapat. Silakan nanti kita diskusi terkait konsep penanganan banjir upamanya di Kebon Pala, Condet, Kalibata. Kami sangat terbuka dengan masukan," tambahnya.
Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Gembong Warsono mengkritik gagasan rumah panggung ini. Tak masuk akal, bagi Gembong. Yang lebih masuk akal dilakukan Anies untuk mengatasi banjir, khususnya di Kampung Melayu adalah melanjutkan program normalisasi Sungai Ciliwung yang saat ini masih mandek.
"Enggak bisa mengatasi banjir sepotong-sepotong. Enggak bisa sesuai selera. Normalisasi. Tidak ada cara lain. Kalau daerah banjir tidak ada cara lain selain normalisasi," Gembong.
Selain keliru logika, Gembong juga menyoroti potensi kecemburuan sosial dari renovasi rumah panggung. Banjir di Jakarta, bagaimanapun bukan cuma melanda Kampung Melayu.
"Rumah panggung sudah pasti akan menimbulkan kecemburuan sosial. Memang yang banjir cuma Kampung Melayu doang?" katanya, dihubungi Rabu, 7 April.
Wakil Gubernur DKI Ahmad Riza Patria menyebut kritikan Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Warsono sebagai pendapat pribadi. Lagipula, Riza bilang pembuatan rumah panggung di Kampung Melayu sudah melalui diskusi dengan ahli.
Dan paling penting, ini sudah mendapat persetujuan anggota dewan. "Prinsipnya semua yang kami putuskan, Pak Gubernur dan kita semua mendengarkan semua pihak dan para ahli," Riza.
"Kami diskusikan dengan DPRD. Tidak ada keputusan sepihak, semua bersama DPRD," tambah Riza.
Bangun rumah atau cari panggung?
Jika gagasannya benar-benar untuk membangun rumah, kebijakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan jadi aneh. Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah melihat kebijakan rumah panggung Anies diskriminatif.
"Ini kebijakan diskriminatif karena menimbulkan kecemburuan dari warga lain karena jumlahnya (rumah panggung) cuma 40. Jadi warga lain yang kebanjiran itu kan banyak dan saya rasa itu juga gak selesaikan masalah," kata Trubus, dihubungi VOI, Rabu, 7 April.
Lebih dalam, kebijakan ini dilihat Trubus sebagai bagian dari cara Anies mencari popularitas. Memang tak sepenuhnya. Tapi ada beberapa hal yang dapat dilihat untuk membedakan kebijakan ini benar-benar untuk membangun rumah atau cari panggung.
Pertama, soal diskriminasi di atas. Kata Trubus, kebijakan publik yang benar tak akan menimbulkan sisi diskriminatif.
"Karena titik banjir sangat banyak. Kalau Kampung Melayu saja, dan jumlahnya sangat terbatas, ini akan memancing warga lain untuk diperlakukan sama," Trubus.
Dampaknya apa? Pembengkakan anggaran yang tak strategis. Secara logika, membangun rumah panggung sama sekali bukan solusi atasi banjir. Merelokasi manusia-manusia di bantaran kali jauh lebih masuk akal.
Lagipula, bukankah korban banjir seharusnya dievakuasi, bukan dibiarkan terjebak di tengah banjir? "Apakah dengan rumah panggung itu dia selamat dari banjir? Kan percuma dia di rumah tapi enggak bisa cari makan atau masalah kesehatan. Beda kalau ini ditempatkan di satu tempat evakuasi atau penampungan."
Kita juga dapat melihat kebijakan ini lewat perspektif akademis yang disebut Teori Perencanaan Skenario atau Scenario Planning Theory, yakni sebuah cara terstruktur untuk sebuah organisasi dalam merancang masa depan. Dalam konteks ini, organisasi itu adalah Pemprov DKI sebagai eksekutif.
Dalam Teori Perencanaan Skenario, biasanya organisasi akan merancang tiga skala perencanaan: pendek, menengah, dan panjang. Yang dilakukan Pemprov DKI dalam kebijakan rumah panggung adalah perencanaan jangka pendek yang tak solutif.
Perencanaan jangka pendek paling rentan dengan sisi politis. "Saya kira ini kebijakannya, warna pencitraannya jadi sangat menonjol. Ini kan Scenario Planning Theory jangka pendek. Sesungguhnya tidak solutif juga. Penanganan banjir lebih jauh lebih melihat bagaimana publik terpuaskan di dalam jangka pendek."
"Barangkali kaitannya dengan sampai 2022. Karena ini anggarannya juga dari Baznas kan. Artinya tidak merupakan anggaran yang melibatkan dari korporasi lain. Harusnya kalau jangka panjang, semua yang terkait, termasuk korporasi-korporasi itu dilibatkan."
*Baca Informasi lain soal PEMPROV DKI atau baca tulisan menarik lain dari Diah Ayu Wardani, Wem Fernandez, juga Yudhistira Mahabharata.