Amandemen Undang-Undang, Militer Myanmar Perberat Hukuman Penentang Rezim
Unjuk anti-kudeta militer Myanmar. (Wikimedia Commons/Ninjastrikers)

Bagikan:

JAKARTA - Pemimpin kudeta Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing menandatangani amandemen Undang-Undang Kontraterorisme pada Hari Senin, memperkenalkan hukuman yang lebih keras terhadap dukungan kegiatan anti-rezim.

Di bawah amandemen tersebut, hukuman penjara ditingkatkan dari tiga menjadi tujuh tahun untuk 'tindakan desakan, persuasi, propaganda, dan perekrutan siapa pun untuk berpartisipasi dalam kelompok teroris atau kegiatan terorisme apa pun'.

Mengutip The Irrawaddy Selasa 3 Agustus, analis hukum mengatakan amandemen tersebut merupakan ancaman terhadap laporan media yang mendukung Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) dan Angkatan Pertahanan Rakyat (PDF), karena memungkinkan junta militer untuk menuntut media dengan dalih propaganda palsu.

Mereka juga mengatakan, perbedaan sifat dari UU Kontraterorisme mempersulit terdakwa untuk membuktikan tidak bersalah. Dalam kasus pidana lain, penuntut bertanggung jawab untuk membuktikan terdakwa bersalah. Tetapi di bawah UU Kontraterorisme, terdakwa harus membuktikan bahwa mereka tidak bersalah.

Pada Bulan Mei, rezim militer Myanmar mencap NUG, komite parlemennya dan pasukan pertahanan sipil cabang mereka sebagai 'kelompok teroris' atas dugaan tindakan hasutan terhadap junta.

Sementara, NUG menetapkan militer dan organisasi afiliasinya sebagai kelompok teroris pada 7 Juni karena melakukan tindakan terorisme terhadap warga sipil yang tidak bersalah, menciptakan ketakutan publik akan motif politik untuk menguasai negara.

Penandatanganan amandemen ini tidak terlepas dari pengangkatan Min Aung Hlaing sebagai perdana menteri pemerintahan sementara Myanmar, yang dibentuk pada Minggu 1 Agustus lalu. Bersama wakilnya yang juga Wakil Jendral Senior Soe Win, Min Aung Hlaing menyiapkan sejumlah perubahan.

Usai diangkat sebagai perdana menteri, Min Aung Hlaing menyalahkan teroris yang menentang pemerintahannya atas kesengsaraan negara, terkait dengan unjuk rasa yang berubah menjadi aksi anarkis dan kemudian konflik bersenjata.

"Protes yang dilakukan di seluruh negeri setelah 1 Februari berubah menjadi anarkis dan kemudian konflik bersenjata. Orang-orang yang tidak bersalah terbunuh secara mengejutkan. Mengapa mereka membunuh orang-orang? Mengapa mereka menyerang orang-orang yang hidup damai? Kami tidak bisa menerimanya," tegasnya, menyebut respon yang dilakukan sudah sesuai dengan norma internasional, seperti mengutip Myanmar Now 1 Agustus.

Untuk diketahui, sebanyak 945 orang, termasuk anak-anak, dibunuh antara Februari dan 2 Agustus oleh rezim militer Myanmar, dengan 5.474 orang ditahan dan surat perintah penangkapan dikeluarkan untuk 1.964 orang, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.