JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah menerbitkan aturan soal vaksinasi menjadi syarat berkegiatan di Jakarta. Warga yang ingin melakukan kegiatan di luar rumah harus sudah divaksin mimimal dosis pertama.
Aturan tersebut diterapkan kepada karyawan dan pelanggan restoran, warung makan, perkantoran, mal, pasar tradisional, salon, hotel, hingga tamu acara pernikahan.
Menanggapi hal ini, Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh Nugroho menyebut Anies perlu memperhatikan empat hal sebelum menerapkan aturan syarat vaksinasi.
Pertama, prinsip utama dalam pelayanan publik adalah tidak boleh mengabaikan kesetaraan. Menurut dia, penambahan persayaratan terhadap syarat baru dalam sebuah layanan harus diawali dengan penyediaan prasyarat tersebut secara transparan dan akutanble.
"Terkait dengan syarat vaksinasi untuk mendapatkan pelayanan publik atau memperoleh akses terhadap layanan publik, kalau dilihat dari kacamata Undang-Undang pelayanan publik, jelas tindakan diskrimintaif. Hanya orang yang sudah divaksin dan mendapat sertifikat yang bisa mengakses layanan publik itu," kata Teguh kepada wartawan, Selasa, 3 Agustus.
Namun, hal ini bisa menjadi tidak diskrimintif jika Pemprov DKI menyediakan fasilitas vaksinasi di tempat-tempat layanan publik secara on the spot.
"Sehingga, warga yang belum mendapat vaksin bisa melakukan vaksinasi di sana," tutur dia.
Kedua, jika tujuannya mempercepat vaksinasi, yang perlu dipastikan adalah jumlah ketersediaan vaksin, distribusi vaksin, dan kemudahan akses warga dalam melakukan vaksinasi.
"Kalau tujuannya percepatan, maka harus dibuka aksesibelitas layanan vaksin sedekat-dekatnya dengan warga, baik melalui fasilitas kesehatan BPJS kesehatan maupun klinik 24 jam yang selama ini kurang optimal dilakukan," ucap Teguh.
Ketiga, Pemprov DKI harus memastikan penelusuran kontak kasus COVID-19 sudah dilakukan secara optimal terlebih dahulu.
Sebab, menurut perhitungan Teguh, saat ini sudah ada 7,6 juta warga yang divaksinasi dosis pertama oleh Pemprov DKI. Lalu, baru ada sekitar 2 juta warga yang divaksin dosis kedua.
"Ini berarti masih ada 10 juta orang yang belum memiliki imunitas dan masih jauh dari herd immunity. Jangan sampai kebijakan ini menjadi justifikasi bagi sekitar 7,5 juta orang warga yang sudah memiliki sertifikat vaksin untuk melakukan, sementara sertifikat tersebut tidak bisa menjadi alat tracing dan tracking suspect COVID-19," jelas Teguh.
Keempat, Teguh memandang Anies mesti memiliki mekanisme kontrol terhadap sertifikat vaksin sebelum menerapkan persyaratan tersebut. Sebab, keterbatasan pengawasan di lapangan oleh petugas kemungkinan munculnya sertifikat vaksin palsu dapat menjadi masalah.
DKI memang telah memiliki aplikasi JAKI dan PeduliLindungi untuk memeriksa apakah seorang warga sudah divaksinasi atau belum. Namun, Teguh menyebut pemerintah mesti mencegah sistem agar tidak eror.
"Berkaca dari pengalaman pengawasan STRP, petugas di lapangan pada akhirnya melakukan pengecekan secara manual karena minimnya pengetahuan dan tidak tersedianya perlengkapan yang memadai untuk melakukan pembacaan barcode," tutur Teguh.
"Lalu, ketika dilakukan pengecekan secara manual, sangat memungkinkan munculnya sertifikat vaksin palsu saat dilakukan pengecekan," lanjutnya.
BACA JUGA:
Teguh menekankan bahwa sertifikat vaksin sebenarnya bukan jaminan bahwa masyarakat tidak akan terpapar COVID-19 meskipun mereka telah disuntik vaksin COVID-19. Bagaimanapun juga, menurutnya, pembatasan mobilitas tetap menjadi hal utama.