Regulator Medis dan Obat Uni Eropa Tak Ingin Tergesa-gesa Soal Pencampuran Vaksin COVID-19
Ilustrasi vaksin COVID-19. (Wikimedia Commons/Mos.ru)

Bagikan:

JAKARTA - Regulator obat Eropa pada Hari Rabu menahan diri untuk tidak membuat rekomendasi tentang jadwal pencampuran vaksin COVID-19 dengan dosis dari produsen yang berbeda, dengan mengatakan masih terlalu dini untuk mengkonfirmasi apakah dan kapan suntikan booster tambahan akan diperlukan.

Namun, European Medicines Agency (EMA) mengatakan kedua dosis vaksin virus corona dua suntikan, seperti vaksin dari Pfizer, AstraZeneca dan Moderna diperlukan untuk melindungi diri dari serangan virus corona varian Delta yang menyebar dengan cepat.

Sementara, Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebelumnya memperingatkan individu untuk tidak mencampur dosis vaksin COVID-19, dengan menyebut keputusan tersebut harus ditentukan oleh otoritas kesehatan. 

Dalam upaya untuk mengatasi peningkatan infeksi dan kekurangan vaksin, negara-negara sedang menguji, apakah pemberian dosis kedua yang berbeda dari dosis pertama, dapat meningkatkan kekebalan pada manusia dan menjembatani kesenjangan antara ketersediaan vaksin COVID-19

EMA tidak membuat rekomendasi definitif untuk mengganti dosis, tetapi menyarankan negara-negara untuk mempertimbangkan beberapa kondisi.

"Untuk menanggapi kebutuhan ini dan meningkatkan cakupan vaksinasi, negara-negara dapat menyesuaikan strategi mereka. Berdasarkan situasi epidemiologis dan sirkulasi varian, serta bukti yang berkembang tentang efektivitas vaksin terhadap varian," kata EMA dalam sebuah pernyataan.

Sebuah studi Oxford bulan lalu menemukan, pemberian vaksin Pfizer sebagai dosis kedua empat minggu setelah dosis pertama AstraZeneca, mampu menghasilkan respon kekebalan yang lebih baik, daripada memberikan dua dosis vaksin AstraZeneca.

Sementara itu, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa (ECDC) memperkirakan, varian Delta akan menyumbang 90 persen dari strain yang beredar di Uni Eropa pada akhir Agustus.

Varian, pertama kali diidentifikasi di India, telah menyebabkan lonjakan kasus di seluruh dunia dan menunda rencana pemulihan ekonomi.

"Kami selalu mengikuti ilmu pengetahuan dan keahlian serta evaluasi dari ECDC dan EMA. Tapi, kami juga harus siap dan siap jika (atau) ketika suntikan booster mungkin diperlukan," ungkap juru bicara Komisi Eropa.

vaksinasi
Ilustrasi vaksin COVID-19. (Wikimedia Commons/Mos.ru)

EMA juga secara aktif memantau efek samping yang jarang namun serius dari vaksin COVID-19, dan pada hari Rabu mengungkapkan telah menilai sembilan kasus trombositopenia imun (IT) setelah vaksinasi dengan suntikan Moderna.

Sementara dikatakan tidak ada 'hubungan kausal yang jelas' yang dapat dibuat antara keduanya, EMA akan terus memantau kasus, menekankan bahwa manfaat vaksin terus lebih besar daripada risiko.

EMA pada bulan Maret memulai tinjauan IT, suatu kondisi kekebalan otomatis dengan kadar trombosit darah rendah yang dapat menyebabkan memar dan pendarahan pada orang yang telah menerima suntikan AstraZeneca, Pfizer dan Moderna. Moderna tidak segera menanggapi permintaan komentar.

Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan pada Hari Rabu, bahwa varian Delta kemungkinan akan menjadi varian dominan secara global selama beberapa bulan mendatang.

Sementara Senin lalu, kepala ilmuwan WHO Soumya Swaminathan menyarankan individu agar tidak mencampur vaksin, dengan mengatakan keputusan seperti itu harus diserahkan kepada otoritas kesehatan masyarakat.

"Ini tren yang sedikit berbahata. Ini akan menjadi situasi kacau, jika negara-negara mulai memutuskan kapan dan siapa warganya yang akan mengambil dosis kedua, ketiga dan keempat," paparnya. 

Swaminathan menyebut pencampuran sebagai 'zona bebas data', kendati kemudian ia mengklarifikasi pernyataannya melalui unggahan di Twitter. 

"Individu tidak boleh memutuskan sendiri, lembaga kesehatan masyarakat dapat, berdasarkan data yang tersedia. Data dari studi campuran dan kecocokan vaksin yang berbeda sedang ditunggu, imunogenisitas dan keamanan keduanya perlu dievaluasi," tulisnya. 

Untuk diketahui, Kelompok Ahli Penasihat Strategis WHO tentang vaksin mengatakan pada Bulan Juni, vaksin Pfizer dapat digunakan sebagai dosis kedua setelah dosis awal AstraZeneca, jika yang terakhir tidak tersedia.